Selasa, 24 Februari 2009

Mendorong Bank Syariah Seperti Private Equity Company

Oleh

Muhammad Faiz Aziz[1]

Dalam suatu kesempatan wawancara dengan salah satu stasiun televisi swasta, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Siti Chalimah Fadjriah, pernah mengatakan bahwa bank syariah bukanlah sekedar bank. Ya, memang begitulah bank syariah dimana lembaga keuangan yang satu ini memiliki kelebihan dibandingkan dengan bank konvensional. Kegiatan bank syariah tidak hanya melulu menerima simpanan dan menyalurkan pembiayaan. Namun, dia dapat melakukan kegiatan lain sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan.

Karakteristik bank syariah yang bukan sekedar bank ini merupakan hal yang menarik. Tentunya hal ini sesuai dengan konsep ekonomi Islam yang menekankan prinsip ta’awun (tolong menolong) dan qiradh (kerjasama ekonomi), dimana bank syariah sebagai penggerak ekonomi masyarakat memiliki kewajiban untuk “saling tolong menolong” dan “bekerjasama” dengan masyarakat baik sebagai pihak penyimpan dana, pihak yang membutuhkan dana maupun masyarakat secara umum.

Akan tetapi, dalam praktiknya aplikasi konsep ini secara riil sepertinya belum “menyentuh” masyarakat secara optimal khususnya dalam konteks penyaluran pembiayaan. Kehadiran bank syariah di tengah kita tadinya dianggap sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan tanpa riba atau bunga. Sayangnya, tidak sedikit para nasabah merasa bahwa pembiayaan dari bank syariah sama dengan kredit dari bank konvensional. Tidaklah heran, mengingat jenis pembiayaan murabahah masih menjadi favorit bank syariah. Berdasarkan statistik perbankan syariah BI (per November 2008), murabahah memiliki porsi 59,24 % dari total pembiayaan. Pengenaan fee murabahah yang kadangkala mengacu kepada tingkat bunga pasar membuatnya seperti bunga walaupun sifatnya tetap (fixed) hingga jatuh tempo. Benar juga apa yang dikatakan oleh Syekh Muhammad Taqi Usmani. Dalam bukunya yang berjudul “An Introduction to Islamic Finance”, dominasi jenis pembiayaan murabahah, salam, ijarah dan istisna oleh bank syariah bisa membuat masyarakat bingung dan sulit membedakannya dengan bank konvensional. Selanjutnya, Beliau mengatakan bahwa pembiayan yang ideal oleh bank syariah adalah musyarakah dan mudharabah, yang kesemuanya memiliki prinsip bagi hasil dan inilah yang katanya sesuai Islam. Bukan berarti murabahah, istisna, salam dan ijarah tidak boleh, melainkan keempat jenis pembiayaan tadi seharusnya digunakan sebagai pelengkap saja.

Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Muhammad Taqi Usmani, sudah seharusnya bank syariah turn around ke jenis pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Keterlibatan bank syariah dalam usaha nasabah akan menunjukkan bahwa bank syariah sebagai garda depan ekonomi Islam yang rahmatan lil ‘alamin benar-benar menjadi “penolong” bagi pelaku usaha.

Untuk turn around ke 2 (dua) jenis pembiayaan di atas, bank syariah harus memiliki mind-set dan bertindak seperti Private Equity Company (PE). Pada umumnya, PE melakukan pengamatan terhadap suatu perusahaan; mengakuisisinya; menempatkan orang-orangnya dalam manajemen; meningkatkan kinerja dan laba perusahaan; dan menjualnya kembali ke investor atau ke pemegang saham lama pada suatu waktu tertentu. PE tidak hanya membiayai perusahaan melalui akuisisi saham, namun umumnya mampu membuat perusahaan, yang bahkan di ambang kebangkrutan, menjadi perusahaan yang mapan kembali. Multiplier efect dari sini tentunya adalah ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat dan peningkatan kesejahteraan ekonomi.

Bank syariah tidaklah perlu menjadi PE, akan tetapi mau mengaplikasikan mind-set dan tindakan PE dalam melakukan pembiayaan baik musyarakah maupun mudharabah. Tidak mudah memang untuk bisa seperti PE dan turn around ke jenis pembiayaan tadi. Ada beberapa hambatan bagi bank syariah terkait hal ini diantaranya yaitu cepatnya perputaran dana bank; tingginya resiko jenis pembiayaan ini; keterbatasan sumber daya manusia (SDM); dan pembatasan kegiatan bank syariah untuk menyertakan modal pada suatu perusahaan sebagaimana terdapat dalam Pasal 24 ayat (1) huruf c UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah. UU Perbankan Syariah hanya membolehkan penyertaan modal kepada lembaga keuangan syariah lain dan penyertaan sementara pada perusahaan yang mengalami gagal bayar dengan syarat penyertaan tersebut harus ditarik kembali.

Adanya hambatan-hambatan di atas tidaklah perlu membuat bank syariah kemudian enggan ber-musyarakah dan ber-mudharabah. Justru seharusnya hal itu menjadi pendorong bank syariah untuk membantu nasabah dan dalam rangka meningkatkan kualitas, citra, dan aset bank syariah. Sehubungan dengan itu, ada 2 (dua) hal utama yang dapat dilakukan oleh bank syariah. Pertama, dari sisi transaksi pembiayaan. Musyarakah dan mudharabah pada dasarnya adalah penyertaan. Mengingat adanya batasan penyertaan dalam UU tadi, bank syariah melalui sebuah akad lain dapat meminta kepada nasabah untuk membeli kembali saham-saham bank syariah tadi pada jangka waktu tertentu baik secara angsuran maupun sekaligus ketika jatuh tempo. Kedua, dari sisi penganalisaan nasabah. Disamping menggunakan Prinsip 5C (karakter, kondisi ekonomi, kemampuan, kolateral, dan kapital), bank syariah perlu melakukan analisa yang lebih dalam dan fundamental dari 5C khususnya mengenai potensi penuh bisnis perusahaan tersebut ke depan. Terlepas dari kondisi perekonomian yang ada, setiap perusahaan pasti punya potensinya masing-masing. Untuk itu, bank syariah dalam melakukan analisa harus optimis namun dengan tetap hati-hati (prudent).

Terkait dengan mind-set dan tindakan seperti PE, ada langkah-langkah sederhana namun konkrit yang dapat dilakukan bank syariah dan tentunya dapat dikombinasikan dengan prinsip 5C ketika membiayai nasabah/perusahaan khususnya melalui musyarakah dan mudharabah. Langkah-langkah ini dikemukakan oleh Orit Gadiesh dan Hugh MacArthur dalam bukunya “Lessons from Private Equity Company: Any Company can Use” dan sangat dianjurkan bagi siapapun yang hendak berinvestasi. Pertama, define the full potential. Bank syariah perlu melihat secara utuh perusahaan dan potensi penuh bisnisnya. Untuk itu, analisa yang bisa dilakukan diantaranya adalah analisa permintaan pasar, pelanggan, pesaing, lingkungan, dan mikro ekonomi. Kedua, Develop the blue print, dengan membuat cetak biru langkah-langkah perubahan terhadap usaha nasabah dan inisiatif-inisiatif yang dapat dilakukan untuk memajukan usaha nasabah. Ketiga, accelerate performance, dengan mengakselerasi performa dan kinerja, serta mengukurnya dari waktu ke waktu. Keempat, harness the talent, dengan mengoptimalkan kemampuan SDM nasabah dalam mengakselerasi kemajuan usaha nasabah. Kelima, foster result-oriented mind-set. Bank syariah bersama-sama dengan nasabah mengadopsi pemikiran yang berorientasi terhadap hasil dan target yang hendak dicapai dalam periode tertentu.

Bila bank syariah mau turn around ke arah pembiayaan musyarakah dan mudharabah serta menerapkan langkah-langkah di atas, Insya Allah hal ini bisa memiliki manfaat baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Manfaat jangka pendeknya, usaha nasabah menjadi berkembang dan maju. Manfaat jangka panjangnya, konsep pembiayaan ideal bisa terlaksana, sektor riil lebih terangkat, aset-aset bank syariah meningkat, dan tentunya citra bank syariah akan semakin bagus dan bernilai di mata masyarakat. Dengan demikian, bank syariah benar-benar merupakan bukan hanya sekedar bank.

DAFTAR PUSTAKA

Bank Indonesia. Kodifikasi Produk Perbankan Syariah. Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008.

Bank Indonesia. Sekilas Perbankan Syariah di Indonesia. http://www.bi.go.id/web/id/Perbankan/Perbankan+ Syariah/. Diakses pada tanggal 12 Januari 2009.

Bank Indonesia. Statistik Perbankan Syariah (Islamic Banking Statistics) November 2008. Jakarta: Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2008.

Beik, Irfan Syauqi. Bank Syariah dan Pengembangan Sektor Riil. http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=977:bank-syariah-dan-pengembangan-sektor-riil&catid=8:kajian-ekonomi&Itemid=60. Diakses pada tanggal 12 Januari 2009.

Gadiesh, Orit & Hugh MacArthur. Lessons from Private Equity Company: Any Company Can Use. Boston, Massachussets: Harvard Business Press, 2008.

Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia tentang Perbankan Syariah. UU RI No. 21 Tahun 2008. Lembaga Negara RI Tahun 2008 No. 94, dan Tambahan Lembaga Negara RI No. 4867.

Majelis Ulama Indonesia. Fatwa tentang Pembiayaan Mudharabah. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 4 April 2000.

Majelis Ulama Indonesia. Fatwa tentang Pembiayaan Musyarakah. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tanggal 13 April 2000.

Majelis Ulama Indonesia. Fatwa tentang Pembiayaan Mudharabah Musytarakah. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No. 50/DSN-MUI/III/2006 tanggal 23 Maret 2006.

Usmani, Muhammad Taqi. An Introduction to Islamic Finance. Karachi, Pakistan: Maktaba Ma’ariful Qur’an, 2005.

---------. Private Equity. http://www.investopedia.com/terms/p/privateequity.asp. Diakses pada tanggal 13 Januari 2009.



[1] Penulis adalah pengamat hukum bisnis dan ekonomi syariah

Kamis, 13 November 2008

IHSG dan Masalah Harga Saham di Bursa
Oleh: Muhammad Faiz Aziz *)

[28/10/08]

Panik, kaget, khawatir....Itulah barangkali yang dirasakan oleh para investor pasar modal kita. Penurunan tajam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia memang bisa membuat jantung investor berdegup kencang.

Aksi jual saham besar-besaran pun tak bisa dibendung. Penawaran lebih banyak dibandingkan permintaan. Sesuai hukum permintaan penawaran, tentunya hal itu akan membuat harga saham yang dijual menjadi jatuh dan bisa mempengaruhi IHSG itu sendiri.

Seperti diketahui IHSG mengalami penurunan yang cukup tajam ketika perdagangan di bursa dibuka kembali pasca libur Idul Fitri tanggal 6 Oktober 2008 ke level 1.648,74 dari level 1.832,51 (26 September 2008). IHSG kemudian tercebur kembali 2 hari berikutnya ke level 1.451,67 (8 Oktober 2008) sebelum akhirnya ditutup sementara oleh BEI. Penurunan IHSG ini sendiri sebenarnya sudah berlangsung sejak awal tahun 2008 ini secara pelan-pelan walaupun sempat menyentuh level tertinggi sepanjang sejarah pada tanggal 9 Januari 2008 di level 2.830,26. Penurunan ini sudah diprediksikan sebelumnya bahwa banyaknya hot money yang umumnya berasal dari investor asing dalam perdagangan di bursa. Hot money ini bisa ditarik sewaktu-waktu dan bisa menyebabkan anjloknya bursa.

Terkait dengan konsep IHSG itu sendiri, perlu diperhatikan bahwa IHSG merupakan indikator yang mencakup pergerakan harga saham biasa dan harga saham preferen di BEI. Naik turunnya IHSG sangat bergantung kepada pergerakan harga saham di bursa. Apabila pergerakan harga saham secara umum bagus dan naik, maka IHSG akan naik juga. Begitupun sebaliknya, bila pergerakan harga saham kurang bagus atau turun maka IHSG pun akan ikut turun. Fluktuasinya IHSG disebabkan oleh fluktuasinya harga saham. Dan fluktuasinya harga saham ini disebabkan salah satunya adalah karena pengukuran nilai saham itu sendiri yang hampir tidak pernah menggunakan indikator fundamental kinerja dan keuangan perusahaan itu sendiri.

Bila kita tengok anjloknya pasar modal kita kemarin bahwa hampir seluruh saham-saham di bursa turun. Ada yang mengatakan bahwa anjloknya pasar modal kita tidak lepas dari krisis finansial global. Ada pula yang mengatakan bahwa ini gara-gara grup Bakrie yang gagal bayar dalam transaksi buy back saham-sahamnya. Memang benar apa yang dikatakan sebagian orang itu namun ada satu akar sebab atau permasalahan mengapa IHSG dan saham-saham bisa naik dan turun secara tajam, yaitu tidak menggunakannya fundamental perusahaan sebagai dasar penilaian harga saham di bursa.

Tidak digunakannya indikator ini memiliki banyak akibat hukum di pasar modal. Sebut saja tindak pidana penipuan, manipulasi pasar, insider trading, ketidaktransparanan Emiten ketika melakukan aksi korporasi (masalah keterbukaan), dan sebagainya. Kesemuanya itu sebenarnya forbidden di dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM). Tentunya, kalau kita perhatikan sudah banyak kasus akibat masalah penilaian saham yang tidak wajar ini. Kasus manipulasi pasar PT Perusahaan Gas Negara (PGN), kasus saham Agis, kasus saham Indosat, dan sebagainya. Semua itu sekali lagi berakar kepada tidak digunakannya indikator penilaian saham berdasarkan fundamental kinerja dan keuangan perusahaan.

Secara teori, ada beberapa teknik perhitungan harga wajar saham yaitu pertama, Par Value yaitu harga saham didapat dari hasil pembagian total modal disetor dengan jumlah saham. Kedua, Price to Book Value (PBV) yaitu rasio perbandingan harga pasar saham dan nilai buku (keuangan perusahaan) per saham. Ketiga, Capital Asset Pricing Model (CAPM) yaitu menghitung nilai saham berdasarkan hubungan antara resiko dan expected return di kemudian hari. Keempat, adalah P/E Ratio yaitu menilai saham dengan membandingkan harga pasar saham (market price) dengan laba per saham. Kelima, adalah Discounted Dividend Model (DDM) yaitu penilaian harga saham berdasarkan asumsi dividen di masa mendatang dan pertumbuhan perusahaan.

Dalam prakteknya, penentuan nilai saham di perdagangan bursa pada umumnya tidak berdasarkan teknik perhitungan di atas akan tetapi berdasarkan permainan “orang-orang pintar pasar modal” itu sendiri, sehingga tidak heran apabila terdapat pelanggaran-pelanggaran di pasar modal. Mereka bisa membuat harga saham naik dan turun sesuka hati dalam rentang waktu tertentu yang ujung-ujungnya dalam rangka membuat citra Emiten tersebut baik atau bagus melalui pergerakan saham secara likuid.

Padahal, transaksi tersebut digerakkan oleh kalangan mereka sendiri. Tentu saja, perbuatan mereka bisa masuk kategori tindak pidana manipulasi pasar sebagaimana diatur di dalam pasal 91-92 UUPM. Selain itu, untuk mendukung aksi manipulasi pasarnya, biasanya mereka menyebarkan informasi yang menyesatkan yang bisa masuk kategori pelanggaran pasal 90 dan pasal 93 UUPM mengenai penipuan dan informasi yang tidak benar atau menyesatkan. Informasi ini bisa saja mengatakan bahwa perusahaan sedang bagus-bagusnya atau perusahaan sedang turun-turunya.

Disamping manipulasi pasar dan penipuan, akibat masalah volatile-nya harga saham ini, bagi Emiten yang mungkin memiliki kinerja dan fundamental yang baik, ketika mereka akan melakukan aksi korporasi misalnya berhutang atau menggadaikan sahamnya sebagai jaminan, mereka akan hati-hati karena khawatir aksi korporasinya akan membuat harga saham mereka turun dan anjlok.

Efek samping kekhawatiran ini adalah terbuka kemungkinan Emiten yang bersangkutan tidak transparan kepada publik ketika dia melakukan aksi korporasi. Ketika dia sudah tidak transparan, maka dia telah bisa dianggap melakukan pelanggaran atas prinsip keterbukaan di pasar modal (Pasal 86 jo. Pasal 93 UUPM). Apabila aksi korporasi tersebut mengandung benturan kepentingan dan memenuhi prinsip transaksi material, maka dia juga telah melakukan pelanggaran terhadap aturan-aturan tersebut. Tentunya patut kita sayangkan apabila terdapat Emiten yang baik dengan kinerja bagus lalu hendak melakukan aksi korporasi, namun karena kekhawatiran masalah nilai saham membuat dia melakukan pelanggaran yang sebenarnya tidak perlu dilakukan.

Terkait dengan masalah naik turunnya harga saham, sebenarnya BEI telah memiliki aturan mengenai auto rejection terhadap pergerakan harga saham dengan maksimal kenaikan dan penurunan per harinya adalah 10 % berdasarkan Surat Edaran No. SE-004/BEI.PSH/10-2008 tanggal 12 Oktober 2008 tentang Pembatasan Harga Penawaran Tertinggi atau Terendah atas Saham yang Dimasukkan ke JATS di Pasar Reguler dan Pasar Tunai. Aturan ini menggantikan Surat Edaran yang lama No. SE-009/BEK/12-2001 tanggal 3 Desember 2001 yang membatasi kenaikan dan penurunan harga saham hingga 20-50 %. Aturan ini cukup bagus untuk mencegah perbuatan-perbuatan manipulasi pasar dan penipuan yang bisa menyebabkan harga saham naik dan turun secara tajam. Melalui restriksi batasan harga ini bagi para investor dan Emiten, ketentuan ini akan melindungi nilai investasi dan saham mereka sendiri. Pengaruh aturan ini juga cukup bagus bagi kepentingan Emiten yang hendak melakukan aksi korporasi sehingga nilai saham tidak akan naik atau turun secara tajam. Efek negatif ketatnya aturan auto rejection barangkali adalah masalah likuiditas pasar.

Bagai para pemain saham, tentunya ini menjadi tidak menarik karena tidak ada keuntungan besar bagi mereka. Namun, perlu kita tegaskan bahwa pasar modal adalah sarana investasi. Bicara investasi, maka kita bicara jangka waktu yang panjang dan keuntungan untuk semua orang. Apabila pasar modal menjadi ajang “main saham”, sebaiknya para pelaku tadi mainlah ke Las Vegas atau Makau. Itulah tempat “main saham” sebenarnya yaitu meja perjudian. Janganlah hanya demi kepentingan dan keuntungan sesaat, kemudian mengorbankan keuntungan sebagian besar investor yang lain dan Emitennya.

Apresiasi patut diberikan kepada Bursa Efek Indonesia dengan aturan auto rejection-nya. Penerbitan aturan tersebut diharapkan dapat mengendalikan IHSG dan pasar modal kita yang liar akibat krisis finansial global, walaupun padahal fundamental Emiten kita cukup banyak yang bagus dan kuat. Penerbitan aturan itu juga dapat menjadi upaya preventif dan minimalisir terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum pasar modal kita.

Namun, upaya preventif itu juga sebaiknya harus dibarengi penindakan dan penegakan hukum pasar modal kita. Bapepam-LK dan BEI harus berani untuk menindak pelaku pelanggaran tersebut hingga ke pengadilan baik itu “pemain besar” maupun “pemain kecil”. Itu dapat menjadi bukti integritas sesungguhnya dari kedua institusi ini.

-------------------------

*) Penulis adalah masyarakat umum pengamat pasar modal.

Minggu, 12 Oktober 2008

Antara Kehidupan Karir & Keluarga

Foto yang ada disamping ini adalah foto anak saya. Alya Amira Aziz namanya. Ketika note ini diposting usianya adalah 9 bulan 13 hari. Bagi kami, dia anak yang lucu dan pintar. Hingga terkadang tidak ingin pisah dari pelukannya bila hendak berangkat aktivitas bekerja, apalagi sang ibundanya. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan keselamatan bagi ibunda dan anandanya.

Anak, dia adalah sesuatu harta yang berharga. Berharga melebih apapun yang ada diunia ini bahkah uang dan aset-aset lainnya. Kita bisa bayangkan bila kita memiliki sebuah keluarga tanpa memiliki sang dambaan hati. Rasanya sangat tidak lengkap, bukan? Bahkan bila kita mengadopsi seorang anak, saya yakin tetap saja orangtua inginnya memiliki anak hasil darah dagingnya.

Terkait dengan masalah ini, mungkin kita semua yang beraktivitas rutin di bisnis dan kantor seringkali memiliki sedikit waktu untuk keluarga khususnya istri dan anak-anak kita. Waktu lebih banya dihabiskan di luar rumah entah di kantor, tempat meeting, bahkan di jalan karena macet. Apa yang kita lakukan tidak lain sebenarnya adalah dalam rangka mencari nafkah untuk istri dan anak-anak kita. Namun, apa yang kita lakukan di luar rumah dalam rangka aktivitas kita bisa membuat kita akhirnya melupakan keluarga. Boleh jadi kita pulang ke rumah langsung bukannya bercanda dan bergumul dengan keluarga, namun langsung istirahat. Anak tidak ditegur, begitu juga istri. Akhirnya, kualitas keluarga tersebut menjadi tidak baik.

Oke...sampai sini...manakah yang paling penting? Apakah karir atau keluarga? Bingung untuk menjawabnya karena keduanya sangat penting. Karir penting selain untuk diri kita sendiri dan kemaslahatan orang lain, namun juga penting untuk keluarga. Tanpanya, dengan apa kita bisa beri makan keluarga. Akan tetapi, bila kita terlalu fokus terhadap karir, kita semua bakal tahu apa yang akan terjadi. Keluarga bisa menjadi kurang harmonis. Ujung2nya kalo tidak bisa dipertahankan, menjadi berantakan.

Keluarga juga penting. Alasannya adalah bahwa keluarga bisa menjadi fondasi kesuksesan karir kita. Sukses tidaknya karir kita sangat bergantung kepada dukungan keluarga. Keluarga yang harmonis insya Allah akan membuat sang kepala keluarga sukses di keluarga dan juga karir.

Jadi, manakah yang paling penting? Saya pribadi mengatakan bahwa keluarga bagaimanapun nomor satu. Saya kira sebagian orang akan setuju dengan hal ini.

Kemudian, bagaimana bila seseorang sangat bekerja keras di kantor hingga pulang larut malam, akan tetapi niat dia adalah demi menghidupi keluarga? mengenai pertanyaan ini saya pribadi akan mengatakan tidak masalah SELAMA memang dia bekerja untuk itu dan hasilnya jelas untuk keluarga baik dalam waktu jangka pendek atau jangka panjang. Namun, perlu diingat bahwa berilah kesempatan kepada keluarga untuk bisa memiliki waktu dengan Anda. Bagaimanapun, tidak ada yang bisa menggantikan pentingnya keluarga. Saya teringat dengan pekataan istri saya yang kurang lebih mengatakan seperti ini "Bang, mohon diingat bahwa kantor itu tetap akan mencari penggantinya bila Abang resign atau tidak lagi di kantor itu." Sebuah perkataan yang cukup menggugah hati ini. Ya..memang benar kedudukan kita sebagai kepala keluarga di rumah dan dihadapan anak2 tidak akan tergantikan sekalipun mungkin kita nantinya meninggalkan dunia. Akan tetapi di kantor, bagaimanapun kita bekerja keras dan berjasa terhadap kantor, kantor tetap akan menggantikan kita suatu saat nanti.

Jadi, cobalah kita utamakan keluarga bagaimanapun juga. Karir penting namun keluarga lebih penting. Raihlah kesuksesan dimanapun Anda berada. Namun, jangan lupa dengan keluarga.

Wassalam