Selasa, 14 Agustus 2007

Tulisan di bawah ini merupakan tulisan saya dengan salah satu konsultan hukum terkemuka yaitu Rekan Ahmad Fikri Assegaf, dan tulisan ini dimuat di dalam Jurnal Hukum & Pasar Modal Edisi No. 2/Juli 2005

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEMEGANG OBLIGASI

Oleh: Ahmad Fikri Assegaf dan Muhammad Faiz Aziz


Kurangnya perlindungan hukum terhadap pemegang selalu mendominasi diskusi mengenai aspek hukum obligasi[1]. Apalagi apabila diskusi tersebut dilakukan dalam konteks wanprestasi dari penerbit obligasi. Kami melihat argumentasi yang umumnya muncul dalam diskusi-diskusi tersebut seringkali mencampuradukan antara lemahnya perangkat hukum yang dapat melindungi pemegang obligasi dengan lemahnya pemanfaatan perangkat yang menyangkut pemegang obligasi di satu sisi yang telah ada dan penegakan hukum secara umum pada sisi lainnya. Kami melihat bahwa upaya peningkatan perlindungan pemegang obligasi harus lebih difokuskan pada pemanfaatan perangkat yang ada.
Tulisan ini mencoba menguraikan dan menganalisa mengenai perangkat hukum yang saat ini tersedia bagi pemegang obligasi dan mencoba menjawab apakah sesungguhnya pemegang obligasi telah dilengkapi dengan perangkat yang cukup? Apabila dari segi perangkat hukum perlindungan telah dianggap cukup diberikan, kemudian apa yang menjadi permasalahan menyangkut perlindungan pemegang obligasi pada umumnya?

Obligasi Sebagai Suatu Instrumen Hutang

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (“UUPM”), obligasi termasuk dalam salah satu definisi “Efek” yang dipersamakan dengan “surat berharga”. Undang-undang Pasar Modal menggunakan istilah “surat berharga” sebagai suatu istilah yang sudah baku dan mendefinisikannya lebih lanjut dengan menyebutkan instrumen apa saja yang dapat disebut sebagai “Efek”.[2]
Yang menjadi dasar dari hubungan hukum antara penerbit obligasi dengan pemegang obligasi adalah hutang piutang berdasarkan ketentuan perjanjian perwaliamanatan. Hubungan hutang piutang tersebut memiliki beberapa keunikan dibandingkan dengan hubungan hutang piutang pada umumnya. Keunikan tersebut antara lain, pertama perjanjian perwaliamanatan tidak dibuat oleh pihak yang menjadi kreditur atau pemegang obligasi, melainkan oleh Wali Amanat yang ditunjuk oleh penerbit obligasi. Kedua, jumlah pemegang obligasi pada umumnya cukup banyak karena nilai nominal untuk setiap obligasi cenderung cukup kecil. Ketiga obligasi juga merupakan instrumen yang tercatat pada Bursa Efek, walaupun perdagangan dilakukan secara over the counter, obligasi merupakan instrumen yang cukup mudah untuk diperjual belikan. [3]
Dari titik pandang investor, obligasi menjadi suatu instrumen investasi yang cukup menarik karena obligasi merupakan hutang piutang yang menimbulkan kewajiban untuk membayar pokok dan bunga sebagaimana diperjanjikan. Dengan demikian, pemegang obligasi memiliki suatu kepastian mengenai kapan dan berapa lama investasinya akan kembali. Hal tersebut sangat berbeda apabila kita bandingkan dengan investasi dalam bentuk ekuitas yang keuntungan diperoleh dari dividen yang dibayarkan oleh perusahaan yang jumlahnya tidak pasti serta dari selisih harga beli dan harga jual saham ketika saham tersebut dijual. Karena sifat obligasi yang menawarkan kepada para investor hasil yang tetap dari investasinya sesuai yang diperjanjikan, membuat resiko memiliki sebuah obligasi itu lebih kecil dibandingkan saham.[4]

Wali Amanat dan Perjanjian Perwaliamanatan

Perikatan yang menjadi dasar penerbitan obligasi adalah perjanjian perwaliamanatan yang ditanda tangani oleh Emiten dan Wali Amanat[5]. Yang menarik dari Perjanjian Perwaliamanatan ini adalah keberadaan dari Wali Amanat yang menjadi pihak dari perjanjian ini selaku kuasa dari pemegang obligasi yang belum ada. Karena obligasi baru dijual setelah perjanjian ditandatangai pada saat penandatanganan perjanjian, obligasi belum serta merta dikeluarkan.
Apabila melihat karakter dari pasar modal dengan investor yang jumlahnya cukup banyak pendekatan tersebut dapat diterima. Karena apabila tidak calon penerbit obligasi akan mengalami kesulitan untuk dapat menyelesaikan negosiasi dengan jumlah calon investor yang banyak. Oleh karena itu pembentuk Undang-undang Pasar Modal merasa perlu untuk membentuk lembaga Wali Amanat dan memberikan kepadanya kuasa untuk mewakili pemegang obligasi. Dengan menciptakan lembaga Wali Amanat, pembentuk Undang-undang Pasar Modal telah memperkenalkan konsep “trust” ke dalam hukum Indonesia yang selama ini menganut paham civil law yang dianggap tidak mengenal konsep trust[6].
Dengan diterapkannya berlakunya konsep trustee tadi, Wali Amanat menjadi satu-satunya pihak yang dapat bertindak atas nama dan untuk kepentingan pemegang obligasi dalam konteks pelaksanaan ketentuan perjanjian perwaliamanatan. Sehingga dalam hubungan dengan penerbit pemegang obligasi lebih bersifat pasif dan tidak memiliki hubungan langsung dengan Emiten, termasuk untuk menyatakan bahwa emiten telah wanprestasi serta melakukan eksekusi jaminan.

Perjanjian Perwaliamanatan, Dasar Perlindungan Pemegang Obligasi

Sebagaimana diungkapkan diatas, yang menjadi dasar dari hubungan hukum antara pemegang obligasi dengan Emiten adalah Perjanjian Perwaliamanatan. Perjanjian inilah yang menjadi patokan mengenai sejauh mana perlindungan kepada investor diberikan. Apabila kualitas perjanjian perwaliamanatannya buruk, maka jangan diharapkan investor mendapatkan perlindungan yang optimal.

Walaupun pemegang obligasi tidak memiliki kesempatan untuk secara langsung melakukan negosiasi mengenai ketentuan perjanjian perwaliamanatan, akan tetapi calon pemegang obligasi memiliki kesempatan yang untuk mempelajari dengan baik ketentuan perjanjian perwaliamanatan sebelum ia membeli obligasi tersebut.
Apabila calon investor bertindak cermat dan berhati-hati, tentu saja ia akan memilih untuk melakukan investasi pada obligasi yang bukan saja secara finansial menawarkan return yang terbaik serta dikeluarkan oleh penerbit yang bereputasi dan memiliki kemampuan keuangan yang baik[7].. Disamping itu, ia tentu saja juga akan memperhatikan secara seksama ketentuan dalam perjanjian perwaliamanatan.
Sayangnya, investor obligasi pada umumnya jarang memperhatikan ketentuan perjanjian perwaliamanatan sebelum mengambil keputusan investasi. Berdasarkan diskusi kami dengan beberapa investor dan penjamin emisi obligasi, kami mendapatkan kesan bahwa kurangnya perhatian ini disebabkan pada asumsi investor bahwa ketentuan perjanjian perwaliamanatan merupakan ketentuan yang baku dan tidak ada perbedaan yang berarti antara satu perjanjian dengan yang lainnya.[8]
Perjanjian Perwaliamanatan diatur berbagai hal mengenai syarat dan ketentuan mengenai obligasi yang bersangkutan, termasuk di dalamnya ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang laporan-laporan yang harus diberikan oleh emiten, tindakan-tindakan yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh emiten, tindakan yang harus diambil apabila emiten ataupun Wali Amanat melakukan kelalaian.
Secara prinsip tidak terdapat ketentuan yang mengatur standar Perjanjian Perwaliamantan. Acuan dasar dari perjanjian tersebut adalah asas kebebasan berkontrak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPER[9] dan ketentuan Pasal 52 UUPM beserta penjelasannya[10] yang menyebutkan bahwa ketentuan “kontrak perwaliamanatan” yang dibuat oleh Wali Amanat dan Emiten dibuat sesuai dengan ketentuan Bapepam dan penjelasan dari pasal tersebut mensyaratkan ketentuan dasar yang harus ada dalam Perjanjian Perwaliamanatan antara Emiten dan Wali Amanat antara lain adalah[11]:
a. Utang pokok dan bunga serta manfaat lain dari Emiten;
b. Saat jatuh tempo;
c. Jaminan (jika ada);
d. Agen pembayaran; dan
e. Tugas dan Fungsi Wali Amanat.

Berdasarkan pengamatan kami terhadap paling tidak 10 Perjanjian Perwaliamanatan, ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut memiliki kemiripan. Standar tersebut tidak tercipta karena adanya upaya sengaja untuk menciptakannya seperti pembuatan model dokumen sebagaimana yang dilakukan oleh American Bar Association yang membuat model indenture.[12] Standarisasi yang dilakukan di Indonesia bukan hasil dari upaya yang sengaja akan tetapi lebih didorong oleh adanya kecenderungan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses emisi untuk tidak membuat sesuatu yang berbeda dengan apa yang telah dilakukan dalam penerbitan obligasi yang sebelumnya.[13]
Secara umum, ketentuan-ketentuan dalam perjanjian perwaliamanatan tidak lah lebih buruk (dalam perspektif pemegang obligasi) dibandingkan ketentuan dalam perjanjian kredit dari bank lokal. Namun apabila kita bandingkan dengan ketentuan Indenture atau Trust Deed, nampak ketentuan Perjanjian Perwaliamanatan terlihat tidak sedetail Indenture atau Trust Deed.
Ketentuan-ketentuan penting yang umum terdapat dalam Perjanjian Perwaliamanatan antara lain mengatur hal-hal sebagai berikut:
a. Pengaturan penggunaan dana. Umumnya rencana penggunaan dana hasil emisi obligasi diatur secara cukup terinci sehingga dapat memberikan gambaran yang cukup bagi calon pemegang obligasi tentang rencana tersebut dan sekaligus menjadi fungsi kontrol bagi emiten untuk tidak menggunakan dananya untuk kepentingan lain.
b. Hak dan Kewajiban Wali Amanat. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban ini meliputi tugas, tanggung jawab, dan kewajiban yang harus dijalankan Wali Amanat.
c. Pembatasan terhadap tindakan yang dapat dilakukan emiten dan tindakan yang wajib dilakukan oleh emiten. Dalam Perjanjian Perwaliamanatan terdapat pembatasan-pembatasan serta hal-hal yang wajib dilakukan oleh emiten selama belum dilunasinya jumlah terhutang oleh Emiten.[14] Seberapa ketat pembatasan dan hal yang dilakukan ini, berdasarkan pengamatan kami bergantung pada posisi tawar Emiten terhadap Penjamin Emisi Efek (yang cenderung lebih aktif menegosiasikan perjanjian tersebut) dan Wali Amanat. Apabila Emiten merupakan perusahaan besar yang dikenal sangat baik, memiliki rating yang baik dan tidak pernah melalaikan kewajibannya kepada kreditur pada umumnya, maka posisi tawarnya menjadi sangat baik oleh karena itu ketentuan Perjanjian Perwaliamanatan untuk perusahaan tersebut cenderung tidak seketat perusahaan lainnnya. Salah satu penyebab posisi tawar yang baik itu adalah karena tidak sulit bagi perusahaan tersebut untuk mendapatkan alternatif pendanaan lain selain obligasi. Pembatasan-pembatasan serta kewajiban-kewajiban tersebut dapat disimpangi oleh Emiten sepanjang terdapat persetujuan tertulis dari Wali Amanat. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Wali Amanat sebagai pihak yang tidak memiliki tagihan kepada Emiten dapat memberikan judgment yang baik sebelum memberikan persetujuan? Dan apakah judgment tersebut betul-betul mewakili kepentingan pemegang obligasi yang beraneka ragam itu?[15]
d. Jaminan. Tidak semua obligasi yang telah diperdagangkan dikeluarkan dengan adanya jaminan khusus. Ada atau tidaknya jaminan khusus ini juga sangat ditentukan oleh posisi tawar emiten pada umumnya seperti rating, kondisi keuangan emitan. Apabila emiten memiliki posisi yang baik maka dimungkinkan untuk mengeluarkan obligasi tanpa jaminan khusus.
e. Kejadian kelalaian. Dalam kejadian kelalaian, biasanya diatur mengenai kapan Emiten dianggap dan dinyatakan melakukan kelalaian (default), misalnya: lalai membayar hutang pokok obligasi dan/atau bunga obligasi dan/atau jumlah lain yang harus dibayarkan Emiten, lalai melaksanakan ketentuan dalam Perjanjian Perwaliamanatan. Pengaturan kejadian kelalaian ini tidak hanya meliputi kelalaian oleh Emiten, namun juga meliputi kelalaian oleh Wali Amanat. Apabila Wali Amanat lalai biasanya dalam Perjanjian Perwaliamanatan diatur bahwa terhadap kelalaian tersebut berlaku Pasal 1267 KUHPER.[16] Dalam hal ini pemegang obligasi memiliki pilihan hak apakah memaksa Wali Amanat tetap memenuhi perjanjian tersebut, atau menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya.
f. Pernyataan (Jaminan) Emiten. Pernyataan ini umumnya berisi mengenai keabsahan perseroan beserta perubahan-perubahannya; susunan direksi dan komisaris; kebenaran disclosure sehubungan dengan pernyataan pendaftaran kepada Badan Pengawas Pasar Modal (“Bapepam”); perizinan dan persetujuan yang dimiliki perseroan dalam menjalankan usahanya; keterlibatan perkara perseroan; penerbitan obligasi telah sesuai dengan anggaran dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan laporan keuangan perseroan.

Dari standar Perjanjian Perwaliamanatan yang ada tampak terdapat hal-hal yang sesungguhnya dapat dikembangkan lebih lanjut demi perlindungan kepentingan pemegang obligasi.
Mengingat Perjanjian Perwaliamanatan merupakan dasar dari perlindungan kepada pemegang obligasi, maka ketentuan perwaliamanatan secara terus menerus harus dikembangkan.
Pengembangan terpenting semestinya dilakukan oleh Wali Amanat dengan cara lebih aktif berperan dalam melakukan negosiasi Perjanjian Perwaliamanatan. Saat ini secara umum peran Wali Amanat dalam proses tersebut terkesan sangat kurang. Sehingga seringkali diskusi Perjanjian Perwaliamatan dilakukan oleh Emiten dan Penjamin Emisi Efek. Dalam hal ini Penjamin Emisi Efek cenderung memiliki kepentingan jangka pendek yaitu menjual obligasi tersebut dalam penawaran perdana.[17] Dalam proses negosiasi tersebut penjamin emisi efek hampir selalu didampingi oleh Advokat yang memperhatikan kepentingan penjamin emisi efek.
Berdasarkan pengamatan kami, Wali Amanat tidak pernah didampingi oleh Advokat untuk membantu Wali Amanat dalam menegosiasikan perjanjian perwaliamanatan guna mewakili kepentingan pemegang obligasi. Memang adanya penambahan peran ini memiliki dampak kepada keseluruhan biaya emisi obligasi karena pada akhirnya biaya tambahan itu harus ditanggung oleh Emiten. Akan tetapi hal tersebut bukan merupakan hal yang berlebihan, karena masing-masing Emiten dan penjamin emisi diwakili oleh Advokat, alangkah anehnya apabila tidak ada Advokat yang membantunya guna memperhatikan kepentingannya sebagai kreditur.[18]
Setelah perjanjian perwaliamanatan disetujui, maka para pihak termasuk pemegang obligasi tidak dapat meminta lebih dari apa yang telah diatur dalam perjanjian perwaliamanatan. Mungkin saja ada pemegang obligasi yang menyatakan bahwa karena ia tidak secara langsung menegosiasikan perwaliamanatan ia boleh merenegosiasi perjanjian tersebut setelahnya. Argumentasi tersebut sesunggguhnya tidak tepat. Karena pemegang obligasi telah mendapat kesempatan untuk mempelajari perjanjian tersebut sebelum ia membeli obligasi. Apabila ia menganggap bahwa ketentuan perjanjian itu tidak memenuhi standarnya, maka ia bisa memutuskan untuk tidak membeli obligasi tersebut.

Peran Wali Amanat Sebagai Penjaga Kepentingan Pemegang Obligasi

Berdasarkan Pasal 51 ayat (2) UUPM, Wali Amanat mewakili kepentingan pemegang Efek bersifat Utang baik di dalam maupun di luar pengadilan. Wali Amanat menjadi kuasa dari pemegang obligasi berdasarkan undang-undang. Dalam hal ini, ketentuan mengenai trustee berlaku dalam penerbitan obligasi. Seperti disebutkan sebelumnya, penunjukkan Wali Amanat oleh undang-undang sebagai kuasa pemegang obligasi itu berasal dari konsep trustee yang diusung oleh sistem hukum Anglo-Amerika (Common Law System). Namun, hal itu telah menjadi standar internasional dalam penerbitan obligasi.
Karena peran Wali Amanat sebagai kuasa dari pemegang obligasi, maka Wali Amanat menjadi garda terdepan dalam perlindungan pemegang obligasi. Semua perbuatan hukum dan hubungan hukum dengan Emiten dalam konteks obligasi yang bersangkutan haruslah demi kepentingan pemegang obligasi. Sehubungan dengan perbuatan hukum tersebut, ada beberapa peran atau tugas yang harus dilakukan Wali Amanat:[19]
a. Menganalisis kemampuan dan kredibilitas Emiten apakah secara operasional perusahaan (Emiten) yang bersangkutan mempunyai kesanggupan menghasilkan dan membayar obligasi beserta bunganya;[20]
b. Menilai kekayaan Emiten yang akan dijadikan jaminan. Wali Amanat harus mengetahui dengan pasti apakah nilai kekayaan Emiten yang menjadi jaminan setara atau memadai dibanding dengan nilai obligasi yang diterbitkan;[21]
c. Melakukan pengawasan terhadap kekayaan Emiten. Apabila harta yang menjadi jaminan tadi dialihkan pemanfaatan atau pemilikannya haruslah sepengetahuan Wali Amanat;[22]
d. Memantau dan mengikuti perkembangan secara terus menerus terhadap perkembangan perusahaan (Emiten) dan memberikan nasihat dan masukan kepada Emiten;[23] dan
e. Melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap pembayaran bunga atau manfaat lain beserta pinjaman pokok obligasi yang menjadi hak pemodal tepat pada waktunya.

Tugas tersebut diatas tampaknya sangat luas dan sangat terbuka bagi berbagai macam penafsiran. Sehingga apabila evaluasi dilakukan terhadap pelaksanaan tugas Wali Amanat, kemungkinan besar banyak Wali Amanat yang belum menjalankan tugas tersebut secara sempurna karena luasnya ruang lingkup tugas tersebut. Kesulitan tersebut kemungkinan besar muncul karena kurang realistisnya peran yang diharapkan dari Wali Amanat.. Hal ini tentu saja membuka peluang gugatan dari pemegang obligasi kepada Wali Amanat.
Untuk meningkatkan perlindungan pemegang obligasi dan demi kepastian serta kejelasan tugas Wali Amanat, perlu dipertimbangkan untuk membuat ruang lingkup tugas yang lebih realistis serta adanya penjabaran tugas Wali Amanat secara lebih rinci.. Sehingga dengan demikian diharapkan performance Wali Amanat dapat menjadi lebih baik dan evaluasi dari performance tersebut menjadi lebih mudah.
Walaupun demikian, peran Wali Amanat antara sebelum dan setelah krisis mengalami perkembangan. Saat ini Wali Amanat bersikap lebih proaktif dalam mengawasi Emiten penerbit obligasi dalam rangka upaya melindungi investor. Hal ini dikarenakan pengalaman yang mereka alami pada saat krisis dimana sejumlah obligasi yang diterbitkan mengalami default. Mereka tidak ingin hal itu terulang kembali atau bila default-nya Emiten tidak bisa dihindari, maka setidaknya uang milik investor dapat dikembalikan secara utuh oleh Emiten.
Bagaimana apabila Wali Amanat sendiri melakukan kelalaian Wali Amanat dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya? Pasal 53 UUPM menegaskan bahwa Wali Amanat wajib memberikan ganti rugi kepada pemegang Efek bersifat Utang (Obligasi) atas kerugian karena kelalaiannya dalam pelaksanaan tugasnya sebagaimana diatur dalam UUPM maupun peraturan pelaksanaannya serta kontrak perwaliamanatan.[24]

Keterbukaan Informasi

Selain Perjanjian Perwaliamanatan, salah satu hal yang sangat penting bagi perlindungan kepada pemegang obligasi dari aspek hukum adalah keterbukaan informasi. Keterbukaan informasi ini merupakan jiwa dari ketentuan pasar modal. Karena dengan adanya keterbukaan informasi investor diharapkan dapat mengambil keputusan investasinya berdasarkan kondisi emiten yang sesungguhnya. Ketentuan mengenai disclosure ini tidak melindungi pemegang obligasi dalam arti memberikan jaminan kepada pemegang obligasi untuk mendapat pembayaran kembali dari emiten. Akan tetapi ketentuan ini memberikan investor kesempatan untuk mengambil informed decision. Selebihnya, resiko-resiko investasi lainnya seperti resiko bisnis dari emiten tentu sajasepenuhnya menjadi tanggungan investor.

Keterbukaan informasi dilakukan pertama kali pada saat melakukan penawaran umum obligasi yang dilakukan dengan pengajuan Pernyataan Pendaftaran Emisi ke Bapepam dengan menyertakan semua dokumen penting yang dipersyaratkan dalam Peraturan Nomor IX.C.1 tentang Pedoman Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran[25], yakni Prospektus, Laporan Keuangan yang telah diaudit akuntan, Perjanjian Emisi, Legal Opinion, Perjanjian Perwaliamanatan dan sebagainya serta penerbitan prospektus. Selanjutnya, Keterbukaan informasi menyangkut pelaporan kondisi keuangan emiten melalui laporan keuangan interim (tiga bulanan dan enam bulanan) serta laporan keuangan untuk periode satu tahun. Laporan keuangan tersebut harus disiapkan berdasarkan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia serta sesuai dengan ketentuan BAPEPAM. Disamping itu, terdapat kewajiban untuk melakukan keterbukaan informasi dalam hal terjadi kejadian penting yang dapat mempengaruhi harga efek atau kondisi perusahaan dengan cara mengumumkan kejadian tersebut segera setelah adanya kejadian tersebut.

Hak Menuntut dari Pemegang Obligasi Berdasarkan Perjanjian Perwaliamanatan

Pemegang Obligasi memiliki hak untuk dapat mengajukan tuntutan apabila Emiten dinyatakan default (lalai) dan/atau telah melakukan pelanggaran Perjanjian Perwaliamanatan. Oleh karena Perjanjian Perwaliamanatan merupakan dasar perikatan obligasi dan pondasi perlindungan, pemegang obligasi dapat mengajukan suatu tuntutan/ganti rugi apabila Emiten atau Wali Amanat default.
Selanjutnya, pasal 1238 KUHPER menyebutkan bahwa “Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya tenggang waktu.” Lalainya sebuah Emiten harus dinyatakan dalam bentuk tertulis oleh pihak dengan siapa perjanjian itu dibuat. Pernyatan bahwa Emiten lalai ini harus jelas dan diberikan alasan yaitu misalnya karena tidak membayar hutang pokok dan bunga obligasi pada waktunya, atau tidak memenuhi salah satu poin perjanjian yang telah disepakati. Apabila kelalaian ini menyebabkan kerugian bagi pihak lain misalnya pemegang obligasi, maka Emiten telah melakukan perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 KUHPER[26] dan wajib mengganti kerugian yang diderita pihak lain.
Dalam hal Emiten melakukan kelalaian, berdasarkan UUPM Pasal 51 ayat (2) pemegang obligasi hanya dapat mengajukan suatu tuntutan/gugatan kepada Emiten melalui Wali Amanat. Pasal tersebut menyebutkan bahwa Wali Amanat mewakili kepentingan pemegang Efek bersifat Utang baik di dalam maupun di luar pengadilan. Berdasarkan ketentuan tersebut pula, Wali Amanat menjadi kuasa dari pemegang obligasi berdasarkan undang-undang, bukan dari perjanjian pemberian kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 1792 KUHPER.[27]
Bagaimana apabila para pemegang obligasi sendiri yang mengajukan tuntutan tanpa melalui Wali Amanat? Apabila melihat ketentuan dalam UUPM, kami melihat terdapat kemungkinan bahwa gugatan tersebut tidak dapat diterima. Karena walaupun seungguhnya terdapat hubungan hukum antara Emiten dan pemegang obligasi, akan tetapi undang-undang telah secara spesifik menyatakan bahwa Wali Amanat diberi kuasa berdasarkan undang-undang melakukan tindakan hukum atas nama pemegang efek bersifat hutang.[28] Pertanyaannya adalah apakah kuasa yang diberikan oleh undang-undang ini bersifat mutlak dalam arti apakah pemegang obligasi sebagai pihak yang berkepentingan langsung bisa mengabaikan kuasa tersebut?
Dalam praktek obligasi di beberapa negara lain, umumnya trust deed atau indenture dapat memuat klausul “no-action clause”, yang pada prinsipnya menyatakan bahwa pemegang obligasi baru dapat mengajukan tuntutan secara langsung kepada emiten dalam hal Wali Amanat tidak melakukan tuntutan tersebut dalam waktu yang wajar.
Dalam pandangan kami, undang-undang pasar modal seharusnya memberikan jalan bagi pemegang obligasi untuk dapat menuntut emiten secara langsung. Karena kita tidak dapat memungkiri bahwa betapapun kecilnya nilai nominal obligasi yang dipegang, obligasi tersebut seharusnya memberikan kepada pemegangnya segala hak yang sewajarnya dimiliki oleh seorang yang memiliki hak tagih, termasuk hak untuk menagih pembayaran atas kewajiban emiten kepadanya. Apabila tindakan tersebut digantungkan pada Wali Amanat yang saat selalu akan mempertimbangkan untung rugi dilakukannya gugatan karena seluruh biaya proses hukum tersebut praktis harus ditanggung sendiri oleh Wali Amanat. Tentu saja hal pertimbangan ini sangat membatasi ruang gerak Wali Amanat mengingat kompensasi bagi Wali Amanat relatif tidak terlalu signifikan diandingkan dengan kemungkinan biaya untuk melakukan proses hukum tersebut. Oleh karena itu adalah wajar apabila pemegang obligasi dilepas dari belenggu yang mengikat Wali Amanat dengan memberikan hak langsung untuk melakukan tindakan hukum.
Mungkin ide pemberian hak kepada pemegang obligasi untuk secara langsung dapat mengajukan gugatan perlu diajukan dalam pembahasan rancangan perubahan UUPM yang telah diajukan pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Sanksi hukum untuk menegakkan Prinsip Keterbukaan

Bentuk perlindungan lain kepada pemegang obligasi adalah memberikan sanksi pidana kepada Emiten berdasarkan prinsip keterbukaan. UUPM maupun Peraturan Bapepam memuat ketentuan mengenai kewajiban dalam penyampaian keterbukaan informasi dan tanggung jawab atas informasi yang menyesatkan. Dalam kedua peraturan tersebut, cukup banyak ketentuan yang mengatur keterbukaan informasi, namun sanksi pidana hanya berasal dari UUPM.
Terkait dengan keterbukaan dan tanggung jawab atas informasi yang menyesatkan tadi, Pasal 90 UUPM[29]pada huruf c menegaskan bahwa setiap pihak dilarang secara tidak langsung atau tidak langsung membuat pernyataan tidak benar mengenai fakta yang material atau tidak mengungkapkan fakta yang material agar pernyataan yang dibuat tidak menyesatkan mengenai keadaan yang terjadi pada saat pernyataan dibuat dengan maksud untuk menguntungkan atau menghindarkan kerugian untk diri sendiri atau Pihak lain atau dengan tujuan mempengaruhi Pihak lain untuk membeli atau menjual Efek. Selanjutnya, Pasal 93 UUPM[30] menegaskan bahwa setiap pihak dilarang dengan cara apapun membuat pernyataan atau memberikan keterangan yang secara material tidak benar atau menyesatkan sehingga mempengaruhi harga Efek di Bursa Efek apabila pada saat pernyataan dibuat atau keterangan diberikan:

a. Pihak yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pernyataan atau keterangan tersebut secara material tidak benar atau menyesatkan; atau
b. Pihak yang bersangkutan tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran material dari pernyataan atau keterangan tersebut.

Terhadap pelanggaran kedua pasal ini, Pasal 104 UUPM telah menentukan sanksi pidana bagi para pihak tersebut termasuk Emiten (bila melanggar) berupa pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp. 15 miliiar. Dan, berdasarkan Pasal 110 ayat (2) UUPM, tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 UUPM ini dikategorikan sebagai kejahatan.

Peran Bapepam Sebagai Pengawas
Bapepam merupakan otoritas yang memiliki tugas dalam mengawasi kegiatan perdagangan di pasar modal. Selain tugas mengawasi, Bapepam juga berperan sebagai penjaga dalam rangka perlindungan investor pasar modal. Peran penjaga di sini bermakna bahwa Bapepam dengan segala kewenangannya di bidang pasar modal memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga, mengembangkan dan memajukan pasar modal Indonesia dengan memberikan perlindungan terhadap para investor pasar modal.
UUPM telah memberikan kewenangan yang luar biasa kepada Bapepam, dan kewajiban dalam mengawasi, mengatur dan membina setiap pihak yang melakukan kegiatan di pasar modal. Kewenangan dan kewajiban tersebut pada hakikatnya adalah demi perlindungan pemodal dan dalam jangka panjang melindungi perekonomian negara. Bentuk-bentuk perlindungan tersebut meliputi perlindungan preventif dalam bentuk aturan, pedoman, bimbingan dan arahan; dan bentuk perlindungan represif dalam bentuk pemeriksaan, penyidikan, dan pengenaan sanksi.
Dalam konteks perlindungan pemegang obligasi, kedua bentuk perlindungan tersebut diterapkan melalui pembuatan Peraturan Bapepam misalnya mengenai keterbukaan Emiten dalam pengajuan prospektus obligasi, kewajiban penyampaian informasi karena adanya peristiwa penting, kewajiban penyampaian laporan keuangan secara berkala, dan sebagainya (Preventif). Di samping itu juga, bentuk perlindungan lain yang diberikan dalam rangka melindungi pemegang obligasi adalah dengan melakukan pemeriksaan, dan penyidikan kepada Emiten atau Wali Amanat yang lalai atas kewajibannya (Represif). Atau, bahkan mengajukan mereka ke pengadilan apabila ternyata kelalaian Emiten atau Wali Amanat disebabkan karena telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan itikad buruk sehingga pemegang obligasi dirugikan.
Berdasarkan laporan tahunan Bapepam tahun 2004, terdapat 51 kasus dugaan pelanggaran dan kejahatan pasar modal.[31] Dari 51 kasus tersebut ada 2 kasus terkait dengan obligasi yang telah diperiksa maupun disidik oleh Bapepam.[32] Kedua kasus tersebut pula telah dilimpahkan juga ke pengadilan untuk diambil putusan.Aziz tlg cek perkembangan kasus itu

Ruang untuk Pengembangan

Apabila melihat perangkat hukum baik peraturan perundang-undangan maupun peraturan pelaksanaannya serta infrastruktur lembaganya, maka sebenarnya upaya perlindungan pemegang obligasi dengan perangkat tersebut cukup memadai. Namun, permasalahannya adalah bagaimana menegakkan peraturan-peraturan serta penggunaan perangkat tersebut. Selengkap dan sebagus apapun kalimat dalam peraturan-peraturan tersebut, tetapi apabila penegakkan hukum atas pelanggaran atau kejahatan pasar modal belum maksimal, maka peraturan-peraturan tadi hanyalah setumpuk kertas yang tidak berguna.

Menurut kami, selain upaya mengembangkan penegakan hukum, terdapat beberapa hal yang harus ditingkatkan dalam rangka melindungi investor, yaitu:
1. Memberikan akses langsung bagi para pemegang obligasi dalam mengajukan gugatan bila Emiten default. Untuk mengakomodir hal tersebut, hal ini perlu dimuat dalam undang-udang;
2. Peningkatan kualitas Wali Amanat secara terus menerus baik peningkatan kualitas service terhadap para pemegang obligasi, maupun peningkatan kualitas pengetahuan Wali Amanat atas bidang usaha dari Emiten.
3. Bapepam semakin mempertajam law enforcement-nya. Dengan mempertajam ini, diharapkan dapat memberikan efek jera bagi penerbit obligasi

Di samping itu, Konsultan Hukum juga sebaiknya diberikan keleluasaan mewakili pemegang obligasi dalam menegosiasikan Perjanjian Perwaliamanatan bersama-sama dengan Wali Amanat, dan Wali Amanat sebaiknya bekerjasama dengan Konsultan Hukum membuat suatu standar Perjanjian Perwaliamanatan.

[1] Penyebutan obligasi dalam tulisan ini, kecuali disebutkan lain, menunjuk pada obligasi yang diterbitkan melalui penawaran umum berdasarkan ketentuan Undang-undang No. 8 tahun 1995 tentang Pasar Modal.
[2] Cukup banyak upaya dari kalangan akademisi untuk mendefinisikan dan membuat karakteristik terhadap apa yang bisa disebut sebagai surat berharga. Salah satu definisi yang ada dan menurut kami cukup baik adalah definisi yang disampaikan oleh H.M.N Purwosutjipto, .H. yang mendefinisikan surat berharga sebagai “surat bukti tuntutan utang, pembawa hak dan mudah diperjual belikan”.
[3] Mudah diperjualbelikan di sini maksudnya adalah bahwa BES menyediakan sarana pendukung dalam pelaksanaan transaksi obligasi di pasar sekunder, yang disebut dengan OTC-FIS (Over The Counter-Fixed Income Service) yang menyajikan informasi perdagangan dan data-data terkait dengan pasar obligasi, seperti informasi rating, aksi korporasi, jadwal RUPO, dan beberapa informasi penting lainnya. OTC adalah sistem perdagangan yang dilakukan di luar bursa, dan transaksi tersebut dilakukan secara langsung dengan pihak yang terkait (penjual/pembeli). Transaksi bisa dilakukan melalui telepon, media elektronik yang dimiliki BES, OTC-FIS yang bisa menampilkan kuotasi harga bid dan offer suatu obligasi. Sapto Rahardjo, Panduan Investasi Obligasi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama), hal. 164 & 171.

[4] dalam prakteknya, kebutuhan untuk melakukan investasi pada obligasi ataupun saham diakukan dengan alasan dan tujuan yang berbeda. Namun, terdapat pandangan yang umum diterima bahwa sebagai suatu strategi investasi, kombinasi portofolio investasi sangatlah dibutuhkan. Dalam hal ini kombinasi antara ekuitas dan obligasi. Pada satu sisi investasi pada ekuitas menjanjikan return yang lebih tinggi dibandingkan dengan fixed income atau obligasi. Akan tetapi fixed income memberikan return yang pasti. Sehingga seringkali kedua instrumen ini digabungkan dalam satu portofolio untuk mengurangi efek volatility dari ekuitas.
[5] Istilah “Wali Amanat” sesungguhnya merupakan terjemahan dari istilah “trustee” yang dugunakan dalam kerangka penawaran obligasi di Negara-negara lain khususnya yang menganut prinsip hukum common law.
[6] Terdapat pendapat yang antara lain diungkapkann oleh Kartini Muljadi dan Emmy Yuhassarie yang menyatakan bahwa prinsip trust sesungguhnya telah dikenal di Indonesia melalui produk hukum masa pemerintahan penjajah Belanda yaitu “Ordonantie op de Vergardering van Houders van Schuldbrieven aan Toonder” (khususnya Pasal 16) yang diumumkan dalam Staatsblad Tahun 1937 No. 545 yang tercantum di halaman 1132 kumpulan Peraturan Perundang-undangan Engelbrecht tahun 1960, dan berlaku pada tanggal 4 November 1937. Pasal 16 Ordonansi menyebutkan bahwa Ordonansi ini tidak berlaku terhadap akta perjanjian antara pengusaha-pengusaha (trustverband) yang memuat suatu peraturan tentang penyelenggaraan rapat para pemegang surat utang ataupun penyelenggaraan rapat-rapat bertentangan dengan isi akta. Terlepas dari benar atau tidaknya pendapat tersebut, anggapan yang dikenal umum adalah konsep trust tidak dikenal dalam hukum Indonesia. Akan tetapi, dengan diperkenalkannya konsep ini secara cukup gamblang dalam UUPM, bukan saja pada ketentuan mengenai Wali Amanat akan tetapi juga dalam pasal 1 angka 30 UUPM (Definisi Wali Amanat), maka kita perlu bertanya apakah tepat untuk mengaplikasikan konsep ini secara lebih luas.

[7] Dalam menentukan bonafiditas Emiten, ketentuan tentang penerbitan obligasi mensyaratkan antara lain dilakukannya pemeringkatan atas calon Emiten. Pemeringkatan oleh lembaga pemeringkat yang terdaftar di Bapepam (saat ini terdapat dua lembaga yaitu Pefindo dan Kasnic) dilakukan dengan cara melakukan due diligence terhadap resiko-resiko yang ada yang menyangkut perusahaan tersebut antara lain resiko bisnis dan keuangan. Disamping itu, lembaga pemeringkat memberikan judgement terhadap competitive advantage dari perusahaan yang bersangkutan. Hasil rating menjadi salah satu dasar penentuan tingkat bunga obligasi akan diterbitkan.
[8] Walaupun asumsi itu tidak sepenuhnya benar, akan tetapi paling tidak cukup beralasan karena ada kecenderungan untuk mengikuti ketentuan-ketentuan dari penerbitan obligasi sebelumnya.
[9] Pasal 1338 ayat 1 KUHPER berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, loc.cit., ps. 1338 ayat 1.
[10] Indonesia, loc.cit., penjelasan ps. 52.
[11] Tidak jelas maksud dari ketentuan ini yang hanya menyebut struktur yang dasar dari suatu Perjanjian Perwalimanatan yaitu keberadaan Wali Amanat dan agen pembayar serta harus adanya penyebutan tentang jumlah hutang dan kompensasi bagi pemegang obligasi serta jatuh tempo.
[12] American Bar Associations membuat “model indenture” yang secara sosiologis akhirnya menjadi acuan bagi pembuatan indenture. Indenture adalah nama yang umum dipakai untuk perjanjian sejenis perjanjian perwaliamanatan. Di Inggris perjanjian semacam itu dikenal dengan nama “Trust Deed”.
[13] Dalam proses negosiasi perjanjian perwaliamanatan, pihak yang paling berkepentingan adalah emiten sebagai pihak yang akan terikat dengan perjanjian dan penjamin emisi efek yang walaupun tidak menjadi pihak akan tetapi berkepentingan untuk menjaga agar apa yang diperjanjikan tidak terlalu menyimpang dengan apa yang telah diperjanjikan pada obligasi-obligasi sebelumnya yang telah diterbitkan. Logika dari dorongan untuk menjalani konsistensi ini kemungkinan besar adalah karena penjamin emisi ingin memastikan bahwa obligasi yang akan dijual tersebut tidak ingin penerbitan obligasi yang bersangkutan mendapatkan komentar negatif sehingga mengganggu pemasarannya.
[14] Yang termasuk dalam pembatasan antara lain adalah. Emiten dilarang melakukan hal-hal atau tindakan tertentu seperti melakukan penggabungan atau peleburan usaha; mengurangi modal dasar dan disetor perusahaan; mengubah kegiatan usaha Emiten; melakukan pengalihan maupun menjaminkan aset termasuk hak atas pendapatan Emiten; melakukan pembayaran dividen yang mengakibatkan tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban Emiten; dan memberikan hutang, pinjaman, atau kredit untuk pihak manapun. Sedangkan hal yang harus dilakukan umumnya menyangkut pemberian laporan-laporan kepada Wali Amanat
[15] Dalam beberapa kejadian pada masa-masa setelah krisis ekonomi, walaupun Wali Amanat berdasarkan perjanjian berhak untuk memberikan ijin kepada Emiten untuk menyimpangi ketentuan dalam perjanjian, namun Wali Amanat menolak untuk memberikan persetujuan dan meminta emiten agar meminta persetujuan kepada RUPO. Penolakan semacam ini merupakan cermin dari kekhawatiran Wali Amanat untuk mengambil judgement yang benar untuk kepentingan pemegang obligasi.
[16] Pasal 1267 KUHPER berbunyi “Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian, disertai penggantian biaya.” Kitab Undang-undang Hukum Perdata, loc.cit., ps. 1267 KUHPER.
[17] Walaupun demikian terdapat pandangan dari pejamin emisi bahwa penting bagi mereka untuk memastikan bahwa penerbitan obligasi tersebut sukses dari awal sampai adanya pelunasan. Kepentingan tersebut didasarkan pada keinginan penjamin emisi efek untuk menunjukkan bahwa penerbitan obligasi yang dijamin olehnya memiliki cerita sukses dari awal sampai akhir. Akan tetapi secara umum kami melihat bahwa kepentingan jangka pendek tersebut lebih dominan dari kepentingan jangka panjang.

[19] M. Irsan Nasarudin & Indra Surya, op.cit., 173-174
[20] Menarik sekali untuk melihat lebih jauh bagaimana Wali Amanat menjalankan kewajiban yang tidak mudah ini. Kapan Wali Amanat harus melakukan analisis ini? Sebelum obligasi diterbitkan? Atau setelah? Apabila setelah obligasi diterbitkan, kapan hal itu harus dilakukan dan seberapa sering? Seberapa dalam analisis tersebut harus dilakukan? Apakah Wali Amanat harus meminta bantuan pihak ketiga yang kompeten untuk melakukan analisa tersebut?
[21] Sebagaimana kita ketahui bersama nilai barang cenderung berfluktuasi, sehingga sangat mungkin dalam satu saat jaminan telah mencover secara cukup akan tetapi pada esok harinya karena turunnya harga barang tersebut, jaminan menjadi tidak mencukupi. Jika kenyataannya demikian seberapa sering Wali Amanat harus menilai jaminan yang diberikan? Seringkali untuk barang-barang tertentu diperlukan keahlian khusus untuk menilainya, apakah ini berarti Wali Amanat harus meminta pihak lain tersebut untuk melakukan penilaian.
[22] Bagaimana pengawasan tersebut dilakukan. Umumnya berkurangnya aset terlihat dari laporan keuangan yang ada melaporkan kejadian-kejadian yang telah lewat. Apakah pemantauan melalui laporan tersebut telah mencukupi?
[23] Dapat dipertanyakan tindakan apa yang dapat dianggap memenuhi syarat melakukan “pemantauan secara terus menerus?” menurut kami hal tersebut dapat ditafsirkan bahwa Wali Amanat harus secara terus menerus (tidak berhenti) memantau perusahaan dan hal itu baru terpenuhi apabila Wali Amanat berada dalam perusahaan.
[24] Indonesia, loc.cit., ps. 53.
[25] Badan Pengawas Pasar Modal, Peraturan tentang Pedoman Bentuk dan Isi Pernyataan Pendaftaran Dalam Rangka Penawaran Umum, Peraturan Nomor IX.C.1 Lampiran Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-113/PM/1996 tanggal 24 Desember 1996 yang telah diubah dengan Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-42/PM/2000 tanggal 27 Oktober 2000.
[26] Dalam Pasal 1365 KUHPER disebutkan “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
[27] Pasal 1792 KUHPER menyebutkan “Pemberian Kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.”
[28] Insert Pasal 51 ayat 2 UUPM dan penjelasannya
[29] Indonesia, loc.cit., ps. 90.
[30] Ibid., ps. 93.
[31] Badan Pengawas Pasar Modal, Laporan Tahunan 2004 (Annual Report), (Jakarta: Badan Pengawas Pasar Modal), hal. 51.
[32] Kedua kasus tersebut adalah kasus Transaksi Obligasi PT Bank Asiatic dan PT Bank Dagang Bali; dan kasus Transaksi Obligasi PT Bank Global Internasional, Tbk. Lihat Laporan Tahunan Bapepam Tahun 2004, halaman 54.
Pendidikan Hukum Berkelanjutan Bagi AdvokatOleh: Muhammad Faiz Aziz, S.H., S.IP *)
[29/11/06]


Beberapa waktu lalu, untuk pertama kalinya Pendidikan Hukum Berkelanjutan diadakan di Indonesia di bawah naungan Perhimpunan Advokat Indonesia. Walaupun mungkin bukan yang pertama --karena pernah diadakan HKHPM-- pendidikan ini merupakan suatu langkah maju dalam pengembangan profesi Advokat Indonesia.
Advokat Indonesia yang saat ini berada di bawah naungan UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, merupakan salah satu profesi hukum (catur wangsa peradilan) yang independen. Sebagai sebuah profesi, Advokat dituntut untuk meningkatkan kualitas layanan dan peningkatan profesionalitasnya dalam memberikan jasa dan bantuan di bidang hukum kepada para klien atau pihak-pihak lain yang membutuhkan. Dengan kualitas layanan dan profesionalitas, diharapkan Advokat dapat menjadi profesi yang benar-benar ‘dipandang’ oleh masyarakat. Upaya meningkatkan kompetensi keahlian (skill), layanan dan peningkatan profesionalitas advokat dilakukan antara lain melalui pendidikan baik melalui seminar, pelatihan, workshop, diskusi, dan sebagainya.

Mungkin hampir seluruh Advokat pernah berpartisipasi di dalam seminar, pelatihan, workshop, atau diskusi baik sebagai peserta maupun pembicara. Partisipasi mereka adalah dalam rangka memperoleh tambahan pengetahuan yang mungkin berhubungan dengan kasus yang ditanganinya atau hanya sekedar menambah pengetahuan. Namun, hingga saat ini mungkin partisipasi tersebut hanya sekedar partisipasi belaka untuk memperoleh pengetahuan demi peningkatan kompetensi keahlian atau pengetahuan dan profesionalitas. Ada baiknya, jika partisipasi Advokat tersebut kemudian diakui dan diakreditasi dalam konsep Pendidikan Hukum Berkelanjutan atau Continuing Legal Education (“CLE”).

Apa yang dimaksud dengan CLE? CLE sebenarnya merupakan sebuah konsep mengenai kegiatan edukasi secara terus menerus dan berkesinambungan. CLE banyak digunakan oleh para profesi dalam peningkatan kualitas keahlian, pengetahuan dan profesionalitas mereka. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, American Bar Association (“ABA”) sebagai wadah induk Advokat negara tersebut telah mewajibkan para anggotanya untuk mengikuti CLE ini. Selain diselenggarakan untuk anggota ABA, CLE ini juga terbuka bagi peserta umum. Maksud dan tujuan dari penyelenggaraan ini CLE ini adalah terutama untuk meningkatkan pengetahuan dan keahlian para lawyer-nya dalam rangka peningkatan kualitas layanan dan bantuan hukum. ABA memiliki sebuah standar minimum bernama Model Rules for Minimum Continuing Legal Education (MCLE) bagi seluruh lawyer di Amerika Serikat. Model Rules ini merupakan aturan umum dan aturan minimum bagi semua lawyer. Sedangkan untuk implementasi dan pelaksanaan lebih lanjut, ABA menyerahkan kepada otoritas Advokat masing-masing negara bagian untuk mengaturnya lebih lanjut.

Dalam MCLE tersebut, ABA membedakan antara active lawyer dengan inactive lawyer, dimana MCLE ini berlaku hanya bagi active lawyer. Setiap active lawyer harus memenuhi kewajiban mengikuti CLE minimal 15 jam kredit (bila dalam sistem perkuliahan di Indonesia disebutnya sebagai Satuan Kredit Semester atau SKS), dimana satu jam kredit bervariasi yaitu ada yang 50 menit dan ada yang 60 menit tergantung ketentuan di masing-masing negara bagian.

Dalam bentuk apa saja active lawyer mengikuti CLE? CLE yang diikuti tidaklah harus melalui sebuah pendidikan yang diselenggarakan oleh pihak yang telah memperoleh akreditasi dalam penyelenggaran CLE, namun active lawyers dapat mengikuti pendidikan, seminar, maupun pelatihan lain yang diselenggarakan di luar pihak yang diakreditasi. MCLE juga memungkinkan active lawyer untuk mengikuti pelatihan “in Office CLE” ataupun “self study” melaui fasilitas video conference, audio, dan komputer, asalkan pelatihan tersebut berguna bagi peningkatan skill lawyer yang bersangkutan, dan pendidikan atau pelatihan tersebut diajukan oleh lawyer yang bersangkutan untuk memperoleh akreditasi. Setiap tahunnya active lawyer tersebut memberikan laporan perkembangan partisipasinya kepada Continuing Legal Education Committee (“CLEC”) –yang dibentuk oleh ABA- mengenai CLE yang diikutinya. Untuk memastikan laporan tersebut valid atau benar, disamping menerima laporan dari active lawyer, CLEC menerima laporan juga dari penyelenggara CLE yang telah diakreditasi.

Bagi active lawyer yang tidak memenuhi persyaratan minimum pendidikan CLE tadi, maka Supreme Court of The State atas rekomendasi ABA dan berdasarkan laporan sebuah komite yang bernama CLEC dapat memberikan sanksi berupa suspend (pencabutan sementara) izin praktik lawyer yang bersangkutan, dan apabila lawyer tersebut berkeinginan memperoleh kembali izinnya, maka lawyer yang bersangkutan wajib memenuhi “hutang” jam kreditnya pada tahun berikutnya dan membayar sanksi denda atau penalti yang besarnya bervariasi antara US $ 15 – 500.

Bagaimana dengan Indonesia? Hingga saat ini belum ada standar CLE terhadap para Advokat. Namun, walaupun CLE ini belum memiliki standarnya di Indonesia, CLE pernah diadakan beberapa kali di Indonesia dan saat itu diselenggarakan adalah HKHPM yang merupakan profesi penunjang pasar modal dan salah satu organisasi advokat di bawah koordinasi PERADI. Hanya saja, CLE ini diadakan khusus kepada para anggota HKHPM saja, dan tidak terbuka untuk umum. Walaupun begitu, dari beberapa kali penyelenggaraannya, animo peserta sangat tinggi.

Untuk bidang profesi di Indonesia, mungkin saat ini baru profesi Akuntan yang benar-benar telah memiliki standar pendidikan berkelanjutan bagi para anggotanya yang bernama PPL (Program Pendidikan Lanjutan). PPL adalah kegiatan belajar terus menerus (continuous learning) yang harus ditempuh oleh seorang akuntan agar senantiasa dapat memelihara, meningkatkan dan mengembangkan kompetensi profesionalnya.

Seperti CLE di Amerika Serikat, Ikatan Akuntan Indonesia (“IAI”) mewajibkan PPL kepada seluruh anggotanya dan memenuhi persyaratan minimal jam kredit pendidikan yang harus ditempuh yang disebut dengan Satuan Kredit Pendidikan (“SKP”). IAI juga memberikan kesempatan untuk anggotanya untuk mengikuti pelatihan di luar PPL yang diakreditasi, baik pelatihan melaui “in office”, “self study”, atau melalui perkuliahan biasa di perguruan tinggi, selama berguna untuk peningkatan pengetahuan dan keahlian anggotanya. Sama halnya dengan ABA, IAI mewajibkan kepada anggotanya untuk melaporkan pendidikan lanjtan yang tekah diikutinya. Bagi mereka yang tidak memenuhi persyaratan minimum pendidikan tersebut, maka akan ada sanksi bagi anggota yang bersangkutan yang diterapkan oleh masing-masing kompartemen sesuai anggaran rumah tangganya.

Bagaimana seharusnya peningkatan kualitas dan profesionalitas Advokat ke depan? Pastinya CLE menjadi salah satu cara utntuk mencapai tujuan tersebut. PERADI yang saat ini merupakan organisasi induk Advokat sudah seharusnya membuat standar pendidikan berkelanjutan bagi para Advokatnya. Ada baiknya jika PERADI menengok kepada IAI sebagai salah satu profesi di Indonesia yang sudah jauh lebih dulu menyelenggrakan PPL dalam peningkatan kompetensi profesional anggotanya dan ABA yang tentunya sudah “beberapa” langkah lebih maju daripada kita.

Walaupun saat ini PERADI masih dihadapkan oleh berbagai masalah yang sepertinya tidak kunjung selesai, namun PERADI harus terus maju dan mempunyai pandangan yang “straight forward” demi peningkatan kualitas profesi Advokat Indonesia secara keseluruhan.

Saat ini memang PERADI telah memiliki Standar Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), namun PKPA tersebut lebih bersifat sebagai pendidikan dasar yang ditujukan kepada para calon advokat yang hendak memperoleh keanggotaan PERADI dan izin praktik sebagai Advokat. Pastinya, oleh karena konsep Pendidikan Hukum Lanjutan berbeda dengan PKPA, maka sekali lagi perlu disampaikan bahwa perlu dibuat suatu standar khusus pendidikan tersebut secara tersendiri. Standar tadi diharapkan dapat menjadi Model Rules CLE Advokat Indonesia dalam pengembangan profesi secara general.

Disamping standar tersebut, apabila diperlukan mungkin PERADI dapat membuat sebuah rating (pemeringkatan) atas kantor-kantor Advokat yang rajin mengirimkan Advokatnya unutk mengikuti CLE, dan hasil rating tersebut kemudian dipublikasikan kepada umum dan calon klien sebagai salah satu gambaran mengenai Kantor Advokat yang kiranya cukup credible dalam membantu dan mendampingi klien. Hal ini tentunya dapat membantu kantor yang bersangkutan untuk memperoleh klien juga.


*) Penulis adalah Peneliti pada Centre for Finance, Investment, and Securities Law (CFISEL)

Di upload pada www.hukumonline.com pada bulan Nopember 2006- Januari 2007