Kamis, 11 September 2008

PERPRES DNI DAN DAMPAKNYA TERHADAP KEPEMILIKAN ASING

ATAS SAHAM EMITEN

Oleh Muhammad Faiz Aziz (Peneliti CFISEL)


A. Terbitnya UU Penanaman Modal dan Perpres DNI

Tahun 2007 lalu Undang-undang Penanaman Modal yang baru terbit yaitu UU No. 25 Tahun 2007. Sudah setahun lebih regulasi mengenai investasi diundangkan dan membawa perubahan baru dalam rezim penanaman modal di Indonesia. UU ini menggantikan UU yang lama yang terbit di era Orde Baru yang membedakan pengaturan terhadap penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri.[1] UU Penanaman Modal tidak membedakan dua jenis penanaman modal itu lagi.

Salah satu hal yang diatur di dalam UU Penanaman Modal tersebut adalah mengenai bidang usaha yang terbuka, terbuka dengan persyaratan dan tertutup sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 12. Pengaturan mengenai hal ini kemudian diatur lebih lanjut oleh Peraturan Presiden (Perpres) yaitu Perpres No. 76/2007 dan Perpres No. 77/2007 yang kemudian direvisi dengan Perpres No. 111/2007, dan kemudian dikenal dengan Perpres Daftar Negatif Investasi (DNI).[2] Namun, Perpres ini masih dianggap belum sempurna dan memicu banyak komentar atau pendapat tidak puas khususnya di kalangan pelaku usaha terutama mengenai maksimal kepemilikan modal asing di sektor tertentu.[3] Walaupun ada perubahan atau revisi atas pengaturan namun tetap dirasa kurang oleh para pelaku usaha.

Pihak yang paling terpengaruh atas keluarnya Perpres ini adalah Emiten yang saham-sahamnya dimiliki oleh asing yang melebihi dari ketentuan maksimal di dalam Perpres DNI. Misalnya adalah saham-saham perusahaan telekomunikasi dan kesehatan. Dalam Perpres tersebut, disebutkan bahwa maksimal kepemilikan asing dalam perusahaan telekomunikasi fixed line adalah 49 %.[4] Kemudian maksimal kepemilikan asing dalam perusahaan telekomunikasi seluler adalah 65 %.[5] Lebih parah lagi, masih dalam sektor yang sama, kepemilikan asing terhadap BTS yang pada Perpres DNI tidak diatur, kemudian diatur batasan maksimal kepemilikannya melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permenkominfo) No. 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 yang melarang investasi asing di bisnis penyedia menara telekomunikasi. Dalam Pasal 5 peraturan tersebut dinyatakan, penyedia menara, pengelola menara atau kontraktor menara adalah badan usaha yang seluruh modalnya atau kepemilikan sahamnya dimiliki oleh pelaku usaha dalam negeri.[6] Disamping sektor telekomunikasi, ada juga sektor farmasi misalnya yang dibatasi kepemilikan asingnya dari 100 % menjadi 75 %.[7] Bahkan, sebelum aturan ini keluar terdapat usulan dari Departemen Kesehatan bahwa maksimal kepemilikan asing di perusahaan farmasi adalah 49 %.[8]

Terlepas dari jumlah batasan dan sektor di atas, apa dampak hukum dari penerbitan Perpres DNI ini terhadap saham-saham Emiten yang dikuasai oleh asing saat ini? Apakah pihak asing harus melepaskan saham-sahamnya apabila kepemilikannya di atas batasan maksimal kepemilikan? Apabila pihak asing menjual saham-saham tersebut ke pasar hingga kurang dari ketentuan batas maksimum dan kemudian membeli lagi sampai jumlah yang sama dengan sebelum dijual, apakah hal itu diperbolehkan? Selanjutnya dan ini cukup penting bahwa dalam penjelasan pasal 2 UU Penanaman Modal disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penanaman modal” di semua sektor di wilayah RI adalah penanaman modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio. Lalu, di Perpres 77/2007 yang direvisi dengan Perpres 111/2007 disebutkan bahwa persyaratan kepemilikan modal dalam bidang usaha terbuka dengan persyaratan merupakan persyaratan bagi pembentukan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia bagi investor (khususnya investor asing sebelum melakukan kegiatan investasi). Terkait dengan ini, apakah UU Penanaman Modal dan Perpres DNI ini pada hakikatnya berlaku bagi pemegang saham asing Emiten? Hal ini penting untuk dilihat dan dikaji demi kepastian hukum bagi investor sehingga tidak membingungkan dan mengkhawatirkan mereka.

Namun, sebelum menjawab persoalan di atas lebih mendalam, kita perlu melihat dulu beberapa ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan penanaman modal yang baru terkait dengan masalah batasan kepemilikan asing di atas. Setelah itu, kita coba jawab persoalan di atas berdasarkan ketentuan tersebut.

B. Ketentuan terkait dengan batasan kepemilikan asing

Perlu diperhatikan bahwa ketentuan terkait dengan batasan kepemilikan asing dalam pembahasan ulasan transaksi ini hanyalah dibatasi pada peraturan perundang-undangan penanaman modal yang baru. Pengaturan batasan ini umumnya telah ada dalam peraturan tersendiri di masing-masing sektor sebelum Perpres DNI dibuat, dan Perpres DNI sebenarnya banyak mendasarkan aturan kepemilikan modal pada peraturan-peraturan masing-masing sektor tersebut.

Ada sejumlah pasal yang terkait dengan masalah kepemilikan asing dalam hubungannya dengan saham asing di emiten pasar modal baik langsung maupun tidak langsung, yaitu sebagai berikut:

1. Ketentuan terkait langsung

a. Pasal 12 ayat (1) huruf c Perpres 76/2007 jo. Pasal 2 ayat (1) Perpres No. 77/2007. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan yaitu bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK (Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi), bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus. Lebih lanjut, dalam ayat (4) pasal 12 Perpres 76/2007 disebutkan lagi bahwa bidang usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memberikan batasan kepemilikan modal bagi penanam modal.

b. Pasal 5 Perpres 111/2007. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Presiden ini (yaitu mengenai bidang usaha yang tertutup dan syarat bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan-red.) tidak berlaku bagi penanaman modal yang telah disetujui pada bidang usaha tertentu sebelum Peraturan Presiden ini ditetapkan, sebagaimana yang tercantum dalam surat persetujuan, dan perubahannya apabila ada.

c. Pasal 33 UU Penanaman Modal. Penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain (ayat 1). Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.

2. Ketentuan tidak terkait langsung

a. Penjelasan pasal 2 UU Penanaman Modal. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penanaman modal di semua sektor wilayah negara Republik Indonesia” adalah penanaman modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio.

b. Pasal 2 ayat (3) Perpres No. 77 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa persyaratan mengenai bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan merupakan persyaratan bagi pembentukan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia bagi penanam modal (khususnya penanam modal asing sebelum melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia).

C. Dampak Perpres DNI terhadap pemegang saham asing Emiten

Dari ketentuan yang dikemukakan di atas, kemudian kita bisa jawab pertanyaan-pertanyaan di atas sebagai permasalahan atas DNI ini. Pertanyaan pertama, apa dampak hukum dari penerbitan Perpres DNI ini terhadap saham-saham Emiten yang dikuasai oleh asing saat ini dan apakah pihak asing harus melepaskan saham-sahamnya apabila kepemilikannya di atas batasan maksimal kepemilikan? Kemudian, pertanyaan kedua yaitu apabila pihak asing menjual saham-saham tersebut ke pasar hingga kurang dari ketentuan batas maksimum dan kemudian membeli lagi sampai jumlah yang sama dengan sebelum dijual, apakah hal itu diperbolehkan? Selanjutnya dan ini cukup penting bahwa dalam penjelasan pasal 2 UU Penanaman Modal disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penanaman modal” di semua sektor di wilayah RI adalah penanaman modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio. Lalu, di Perpres 77/2007 yang direvisi dengan Perpres 111/2007 disebutkan bahwa persyaratan kepemilikan modal dalam bidang usaha terbuka dengan persyaratan merupakan persyaratan bagi pembentukan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia bagi investor (khususnya investor asing sebelum melakukan kegiatan investasi). Terkait dengan ini, pertanyaan ketiga timbul yaitu apakah UU Penanaman Modal dan Perpres DNI ini pada hakikatnya berlaku bagi pemegang saham asing Emiten? Hal ini penting untuk dilihat dan dikaji demi kepastian hukum bagi investor sehingga tidak membingungkan dan mengkhawatirkan mereka.

Dari 3 (tiga) pertanyaan di atas, sebelum menjawab pertanyaan atau permasalahan pertama dan kedua, ada baiknya bila menjawab langsung pertanyaan yang ketiga yaitu apakah UU Penanaman Modal dan Perpres DNI ini pada hakikatnya berlaku bagi pemegang saham asing Emiten? Jawabannya adalah tidak. Mengapa? Kita harus lihat pada penjelasan Pasal 2 UU Penanaman Modal dan Pasal 2 ayat (3) Perpres No. 77 Tahun 2007. Dalam penjelasan pasal 2 di atas disebutkan bahwa Yang dimaksud dengan “penanaman modal di semua sektor wilayah negara Republik Indonesia” adalah penanaman modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio.[9] Kemudian, di dalam pasal 2 ayat (3) Perpres No. 77 tahun 2007 disebutkan bahwa persyaratan mengenai bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan merupakan persyaratan bagi pembentukan badan usaha yang berbadan hukum Indonesia bagi penanam modal (khususnya penanam modal asing sebelum melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia).[10] Dengan demikian, pada hakikatnya Perpres DNI yang diterbitkan oleh Presiden tidak berlaku terhadap penguasaan asing atas saham-saham Emiten. Alasannya adalah saham-saham Emiten bukan termasuk penanaman modal langsung akan tetapi bersifat tidak langsung. Selanjutnya, persyaratan mengenai bidang usaha terbuka dengan persyaratan yang salah satu poinnya meliputi masalah kepemilikan modal adalah persyaratan dalam rangka membentuk badan usaha atau badan hukum baru, dan bukan dalam rangka pembelian saham-saham Emiten oleh pihak asing. Sehingga, dalam hal ini (sekali lagi) pihak asing pada hakikatnya tidak terpengaruh dengan Perpres DNI tersebut.

Dengan demikian, oleh karena pemegang saham asing di Emiten tidak terpengaruh dengan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal ini, maka pihak asing tidak berkewajiban untuk melepas atau menjual (divestasi) kepemilikan sahamnya kepada investor lokal. Lagipula, hal ini sebenarnya sudah dijamin melalui pasal 5 Perpres 111/2007 dimana ketentuan mengenai DNI tidak berlaku bagi penanaman modal yang disetujui pada bidang usaha tertentu sebelum Perpres ini terbit sebagaimana yang tercantum dalam surat persetujuannya dan perubahannya bila ada.[11] Kemudian, bila pihak asing menjual saham-sahamnya kepada pihak lain hingga katakanlah dibawah ketentuan maksimal kepemilikan sebagaimana ditentukan di dalam Perpres, terus pemegang saham tersebut membeli kembali dalam jangka waktu tertentu maka pemegang saham tersebut masih tetap dapat membeli kembali keseluruhan saham yang sebelumnya dijual. Ini secara tidak langsung sudah menjawab pertanyaan pertama dan kedua di atas.

D. Usulan bagi Pemerintah

Dengan melihat secara hukum di atas bagaimana tidak terpengaruhnya pihak asing yang menguasai saham-saham Emiten sehubungan terbitnya Perpres DNI, hal ini secara tidak langsung telah membuka kelemahan pemerintah yang “lalai” melihat ke arah sini. Mengingat kelemahan tersebut, seyogyanya pemerintah memperluas pengaturan DNI-nya termasuk ke masalah kepemilikan modal yang saham-sahamnya diperdagangkan di bursa efek, sehingga dalam jangka panjang tidak merugikan bagi pemerintah dan masyarakat Indonesia. Jangan sampai harus terjadi kasus terlebih dahulu, baru kita menyadari akan “kelalaian” ini. Biaya sosial akibat “kelalaian” ini yang akan ditanggung tentunya akan lebih mahal ketimbang bila kita pertimbangkan sekarang.

Bagi para pelaku usaha dan pemegang saham asing, sudah seharusnya untuk tidak mengambil “kelalaian” ini sebagai sebuah kesempatan untuk semakin menguasai aset-aset atau mayoritas kepemilikan saham suatu Emiten. Akan tetapi, ikuti apa yang sudah diatur oleh UU Penanaman Modal dan Perpres DNI. Dengan demikian, pelaku usaha ataupun pemegang saham asing tidak tersangkut masalah di kemudian hari. (MFA)



[1] Rezim UU Penanaman Modal yang lama meliputi UU No. 1 Tahun 1967 yang kemudian diubah dengan UU No. 11 Tahun 190 tentang Penanaman Modal Asing dan UU No. 6 Thaun 1968 yang kemudian diubah dengan UU No. 12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri.

[2] Perpres No. 76/2007 adalah tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Perpres No. 77/2007 adalah tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Sedangkan, Perpres No. 111/2007 adalah tentang Perubahan atas Perpres No. 77/2007 di atas.

[3] Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia M.S. Hidayat dalam suatu kesempatan mengatakan bahwa daftar negatif investasi (DNI) yang aturannya telah diterbitkan masih mengandung beberapa hal yang tidak jelas (grey area) dan memungkinkan terjadinya praktek bisnis ilegal. Lihat KADIN: DNI Masih Memiliki Area Abu-abu, http://www.kapanlagi.com/h/0000179879.html, diakses 23 April 2008.

[4] Lihat Lampiran II huruf c Kepemilikan Modal nomor 44 a Perpres No. 111/2007.

[5] Lihat Lampiran II huruf c Kepemilikan Modal nomor 44 c Perpres No. 111/2007.

[6] Pasal 5 Permenkominfo No. 02/PER/M.KOMINFO/3/2008.

[7] Lihat Lampiran II huruf c Kepemilikan Modal nomor 19 Perpres No. 111/2007.

[8] Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Parulian Simanjuntak mengatakan Peraturan Pemerintah No. 111/2007 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan untuk Penanaman Modal Asing, sangat tidak kondusif bagi industri farmasi. Menurut dia, untuk membangun satu fasilitas produksi farmasi membutuhkan dana besar dan sulit mendapatkan rekanan kerja yang mau berinvestasi dengan kepemilikan saham 25% dan mampu menjaga kerahasian produk terkait dengan hak kekayaan intelektual. Kemudian, Hans-Josef Schill dari European Chamber of Commerce mengatakan tujuan perusahaan farmasi asing khususnya asal Eropa beroperasi di Indonesia adalah untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik, tidak hanya mencari keuntungan. "Kami sangat mengharapkan pemerintah mengembalikan aturan investasi asing di sektor farmasi kembali seperti dahulu, karena untuk berinvestasi di sektor usaha ini dibutuhkan dana besar," tuturnya. Staf ahli Menkes Naydial Roesdal mengatakan aturan pembatasan investasi asing di industri farmasi didorong oleh keinginan untuk meningkatkan peranan farmasi lokal di dalam negeri. "Pada awalnya Depkes menghendaki agar kepemilikan asing dibatasi hanya 49%, tetapi disepakai 75%. Menurut kami, besaran itu [75%] sudah mencukupi," ujarnya. Lihat Daftar Negatif Investasi Surutkan Pemodal Farmasi Asing, http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/manufaktur/1id49709.html, diakses pada tanggal 23 April 2008.




[9] Lihat Penjelasan Pasal 2 UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal.

[10] Lihat Pasal 2 ayat (3) Perpres No. 77 Tahun 2007.

[11] Pasal 5 Perpres No. 111 Tahun 2007. Lebih lanjut, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menegaskan aturan mengenai daftar bidang usaha tertutup dan terbuka dengan syarat tidak akan berlaku surut. "Ini tidak berlaku surut, untuk perusahaan yang sudah ada dan sudah setengah jalan perizinannya, itu (aturannya) tidak berlaku, dia hanya berlaku bagi (investasi) yang baru," kata Mendag dalam jumpa pers sosialisasi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2007 dan Nomor 77 Tahun 2007 di Jakarta, Rabu. Dengan aturan tersebut, jika perusahaan asing selama ini sudah memiliki saham lebih dari yang ditetapkan maka perusahaan tersebut berhak untuk mempertahankan tingkat kepemilikannya. Sebagai contoh, jika Telekom Malaysia (TM) yang memiliki sekitar 70 saham PT Excelkomindo berniat menjual saham kepada perusahaan yang masih berafiliasi dengan TM masih diperbolehkan asalkan tindakan tersebut tidak membuat TM memiliki kepemilikan lebih dari 70. Lihat Daftar Negatif Investasi Tidak Berlaku Surut, (Berita Edisi Kamis, 5 Juli 2007), http://www.kapanlagi.com/h/0000179874.html, diakses tanggal 23 April 2008.

TULISAN INI DIPUBLIKASIKAN DALAM JURNAL HUKUM & PASAR MODAL EDISI NO. 4 AGUSTUS-DESEMBER 2008

[2008-09-10 09:19:25]
Buku Pilihan PERADI: 'Manajemen Kantor Advokat di Indonesia'

Di antara banyak kantor advokat yang beroperasi di Indonesia, ternyata hanya sedikit saja yang mampu bertahan melewati masa satu dasawarsa. Kantor advokat-kantor advokat yang termasuk kelompok itu diantaranya Mochtar Karuwin & Komar (MKK), Lubis Ganie Surowidjojo (LGS), Ali Budiarjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR), Makarim Taira S, Hadiputranto Hadinoto & Partners (HHP), dan Soemadipraja & Taher (S&T).

Demikian antara lain ditulis Wahyuni Bahar, pemilik kantor advokat Bahar & Partners dalam buku “Manajemen Kantor Advokat di Indonesia” yang diterbitkan Centre For Finance, Investment and Securities Law (CFISEL). Menurut Bahar, kantor-kantor hukum besar tersebut tetap eksis selama puluhan tahun dan berhasil mengatasi berbagai tantangan internal dan eksternal.

Manajemen-Cfisel.jpg

Manajemen Kantor Advokat di Indonesia

Editor: Wahyuni Bahar, Muhammad Faiz Aziz, Andos Lumbantobing.

Penerbit: Centre For Finance, Investment and Securities Law (CFISEL), 2007

Tebal: vi + 144 halaman

Dalam makalahnya yang diberi judul “Perencanaan Strategis Kantor Hukum” Bahar lebih menekankan manajemen kantor advokat dari sisi perencanaan. Selain Bahar, terdapat sembilan advokat lain yang sebagian berasal dari kantor advokat-kantor advokat besar seperti disebutkan di atas antara lain, Abdul Haris M. Rum (LGS), Rahmat S. S. Soemadipraja (S&T), Sri Indrastuti Hadiputranto (HHP), dan Rahayuningsih Hoed (Makarim Taira S).

Selain para advokat di atas, buku tersebut juga menampilkan makalah-makalah dari beberapa advokat senior lainnya seperti Achmad Zen Umar Purba (ABNR), Felix Oentoeng Soebagjo (Soebagjo, Jatim & Djarot), dan Denny Kailimang (Kailimang & Ponto). Ada pula makalah mengenai “Sistem Informasi Lawfirm” dari Pemimpin Redaksi situs berita hukum Hukumonline.com, Ibrahim Assegaf.

Buku ini merupakan kumpulan makalah yang disusun oleh para advokat yang menyampaikan materi dalam kegiatan Pendidikan Hukum Berkelanjutan yang digelar CFISEL bekerja sama dengan PERADI pada 21-22 November 2006. Karena itulah, sebagian besar, kalau enggan mengatakan semua, pemaparan beragam topik dalam buku ini hanya secara garis besar.

Meski tidak menyajikan uraian secara mendalam mengenai manajemen kantor advokat, buku ini dapat menjadi salah satu referensi untuk mengintip bagaimana “dapur” kantor advokat-kantor advokat besar di Jakarta dikelola. Seperti ditulis dalam kata pengantar buku ini, pada umumnya sebagian advokat yang memiliki kantor advokat tidak ingin “rahasia dapurnya” diketahui orang lain, khususnya advokat lain sebagai kompetitor.

Bagi yang ingin memiliki buku ini dapat langsung menghubungi CFISEL dengan alamat Puri Imperium Office Plaza, Unit LG. 37, Lt. Lower Ground, Jl. Kuningan Madya Kav. 5-6, Jakarta 12980, no. tlp. (021) 831 1307, faks. (021) 8378 5714.

Resensi

Kiat-Kiat Mengelola Firma Hukum Anda
[12/3/08]

Jangan sampai muncul pandangan negatif: partner enak-enak, associate disuruh kerja terus.

Para pengacara boleh saja mengagumi karya-karya William Shakespeare. Tetapi dalam karya penyair asal Inggris itu, pengacara adalah profesi yang paling dibenci. Tindakan yang pertama layak dilakukan adalah membunuh semua pengacara. The first thing we do, let’s kill all the lawyers!

Bagi Achmad Zen Umar Purba, pernyataan Shakespeare bisa mengandung dua arti. Pertama, kurangnya pengetahuan masyarakat sehingga menganggap advokat sering membuat gaduh. Kedua, bisa juga karena rasa kagum masyarakat terhadap profesi ini sehingga banyak orang tua yang mengharapkan anaknya kelak menjadi pengacara.

Masih belum lekang pandangan pada sebagian anggota masyarakat bahwa kalau mau hidup berlimpah harta maka jadilah seorang advokat. Gaya hidup segelintir advokat semakin mendukung asumsi itu: mengenakan pakaian merek ternama, mengendarai mobil berharga selangit, dan menenteng hape tercanggih. Kesannya, bekerja menjadi advokat bisa menghasilkan uang dengan mudah. Bahwa yang dibela adalah orang yang diduga melakukan korupsi, itu lain soal. Toh, si advokat bisa dengan mudah mematahkan pandangan itu dengan argumen menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah.

Tetapi sebenarnya, kehidupan advokat tidak semanis dan segampang yang dibayangkan. Apalagi kalau si advokat mengelola sebuah firma hukum berskala besar. Ada banyak hal yang musti disiapkan sejak awal. Mendapatkan klien memang penting, namun mengelola jalannya firma hukum tidak kalah pentingnya. “Untuk mengelola suatu lawfirm bukanlah suatu hal yang mudah,” papar Sri Indratuti Hadiputranto (hal.106).

Persiapan yang matang, termasuk mengatur detail hal-hal kecil, turut menentukan kelanggengan suatu firma hukum. Karena itu, pendiri atau partner lawfirm perlu menguasai ilmu manajemen. Di Amerika Serikat, sudah biasa sebuah kantor hukum berusia lebih dari satu abad meskipun para pendiri dan partners-nya sudah gonta ganti. Sebaliknya, di Indonesia masih jarang ditemukan kantor advokat yang bertahan dalam waktu yang lama. Bisa jadi penyebabnya karena firma hukum tersebut tidak dikelola dengan baik.

Manajemen kantor hukum sebenarnya bukan hanya bertujuan melanggengkan usaha. Ia juga bertujuan untuk memastikan tersedianya pelayanan jasa profesional hukum yang andal (hal. 4). Pengelolaan memang sangat tergantung pada tipologi kantor hukum. Kalau bentuknya praktisi tunggal (sole practitioner), tentu saja relatif gampang karena organisasi yang harus dikelola begitu ramping. Beda halnya kalau firma hukum sudah berukuran menengah hingga kantor besar dengan jumlah advokat di atas 75 orang.

Pengelolaan firma hukum besar dengan sistem partnership terbuka tentu membutuhkan manajemen yang lebih rumit. Misalnya, bagaimana mengatur modal, sumber daya manusia, kepengurusan, kompensasi atas pekerjaan dan pembagian fee, hingga hal-hal detail seperti jam kantor dan hubungan dengan klien.

Nah, buku ini mencoba menjawab rasa ingin tahu para advokat tentang hal-hal apa saja yang perlu dipersiapkan dalam mengelola sebuah firma hukum. Buku bersampul putih hijau ini sebenarnya merupakan kumpulan makalah-makalah yang disajikan pada Pendidikan Hukum Lanjutan Advokat (Continuing Legal Education) yang diselenggarakan Center for Finance, Investment and Securities Law (CFISEL) dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) di Jakarta, dua tahun silam.

Ada sebelas makalah yang disajikan dan dituangkan ke dalam buku ini. Meskipun berupa kompilasi makalah, salah satu kelebihannya adalah materi yang disajikan beragam dan penyajinya kebanyakan adalah praktisi alias advokat yang bekerja di kantor hukum ternama. Sehingga, sayang kalau kompilasi ini tak dibaca secara lengkap.

Manajemen Kantor Advokat di Indonesia

(Lawfirm Management in Indonesia)

Editor : Wahyuni Bahar, M. Faiz Azis, dan Andos Lumbantobing

Penerbit : Center for Finance, Investment and Securities Law (CFISEL), Jakarta.

Terbit : 2007

Halaman : 144 + vi, termasuk index.

Mari kita mulai dari perencanaan. Wahyuni Bahar, penulis sekaligus salah seorang editor buku ini, menguraikan pentingnya menyusun rencana strategis firma hukum. Ketika mendirikan firma hukum, yang terbersit di benak sebagian orang mungkin adalah keuntungan. Wahyuni Bahar, managing partner pada Bahar & Partners mengingatkan kita agar tak melulu memikirkan profitabilitas, tetapi juga faktor lain yang ikut mendukung kesuksesan firma.

Achmad Zen Umar Purba dari Ali, Budiardjo, Nugroho, Reksodiputro (ABNR) menyinggung pentingnya tata kelola sekutu. Dalam konteks ini, pengelola firma hukum jangan melupakan persoalan modal, sumber daya manusia, dan tentu saja pajak! Tetapi jangan pula melupakan tujuan pendirian firma tersebut. Sri Indriastuti Hadiputranto, pendiri sekaligus Senior Partner pada Hadiputranto, Hadinoto & Partners menegaskan bahwa seluruh awak firma mestinya paham tujuan yang hendak dicapai (hal. 102). Menurut Ira A. Eddymurthy, kontributor utama terhadap pencapaian tujuan itu adalah manajemen sumber daya manusia (hal. 33).

Tentu saja, pengendalian mutu layanan jasa hukum mutlak dilakukan, terutama demi kelangsungan nyawa firma hukum bersangkutan. Advokat boleh saja gonta ganti dari firma, suksesi jalan terus. Yang penting dijaga, menurut Todung Mulya Lubis adalah kepercayaan atau trust (hal. 98). Untuk menjaga kepercayaan, khususnya dari klien, pengelola firma hukum kudu mendalami strategi pemasaran. ‘Mendapatkan klien baru tidaklah mudah, dan mempertahankan klien yang ada lebih dulit,’ begitu kata Felix Oentoeng Soebagjo (hal. 73).

Lalu, bagaimana agar hubungan kedua belah pihak menjadi langgeng? Berikanlah layanan yang handal kepada klien. Sebisa mungkin informasi yang dibutuhkan klien selalu tersedia dalam waktu yang cepat. Jadi, pengelola firma hukum harus tahu informasi apa saja yang dibutuhkan, tahu tujuan membangun sistem informasi itu, serta mengelola harapan (managing expectation) baik hasil maupun kinerja sistem informasi.

Profesi pengacara sebenarnya belum tentu lebih dahulu mengenai kasus dan hukum dibanding orang lain. Cuma, acapkali advokat lebih tahu dimana menemukan hukum dan celah-celahnya. ‘Siapapun dapat membaca dan memahami suatu peraturan, namun hanya advokat yang dapat menemukan hukum dari beragam peraturan, yurisprudensi maupun doktrin,” tulis Ibrahim Assegaf (hal. 70).

Buku ini layak dibaca terutama oleh mereka yang mengelola firma hukum atau berniat mendirikan kantor serupa. Penting dicatat, kehadiran buku ini patut disambut ditengah minimnya referensi tentang manajemen kantor advokat di Indonesia. Kebutuhan akan referensi sejenis terus tumbuh seiring berkembangnya jumlah kantor advokat di Tanah Air. Yang jelas, buku terbitan CFISEL ini menyajikan hal-hal apa yang perlu Anda persiapkan dalam mendirikan dan mengelola firma hukum. Detailnya, silahkan dibaca!

(Mys)

URL: http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=18736&cl=Resensi


Mengenal Aturan Tender Offer Teranyar
Diskusi Terbatas Hukumonline:

[23/7/08]

Diskusi revisi aturan tender offer mendapat antusias dari para peserta. Diskusi terbatas ini diharapkan bisa membuka ruang bagi publik untuk melihat kelebihan dan kekurangan aturan tersebut.

Luar biasa. Ucapan itu tak berlebihan jika melihat antusiasme calon peserta yang ingin mengikuti Diskusi Terbatas bertajuk “Revisi Aturan Tender Offer” yang diadakan Hukumonline. Bayangkan, jumlah peserta yang ingin mengikuti acara ini membludak dari kuota yang sudah ditetapkan panitia. Dengan sangat menyesal akhirnya panitia memberlakukan daftar tunggu (waiting list) bagi calon peserta yang mendaftar belakangan.

Memang, Hukumonline menggelar diskusi ini tak gede-gede amat. Namanya juga diskusi terbatas. Namun isu yang diusung cukup membuat hasrat para pelaku usaha dan terutama konsultan hukum pasar modal ingin tahu revisi aturan yang dibuat oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) ini. Benar saja, hampir mayoritas peserta yang mengikuti diskusi adalah partners di sejumlah kantor hukum ternama.

Calon peserta tentu saja tertarik dengan diskusi ini. Selain isunya yang sedang hangat, diskusi santai tapi serius yang bertempat di Daniel S. Lev Library hari Kamis lalu (17/7), juga menghadirkan narasumber yang kompeten di bidangnya. Mereka ada Felix Oentoeng Soebagjo dan Yanuar Rizky. Siapa yang tak kenal keduanya. Felix adalah Ketua Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang sudah puluhan tahun berkecimpung di ranah hukum pasar modal Indonesia.

Sementara, Yanuar adalah pengamat pasar modal yang kerap mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah di sektor bursa nasional. Diskusi semakin dihidupkan oleh Muhammad Faiz Aziz, peneliti dari Center for Finance, Investment and Securities Law (CFISEL) yang bertindak sebagai moderator yang memandu acara ini.

Diskusi yang berlangsung sekitar dua jam ini dibuka oleh Pimimpinan Perusahaan Hukumonline Andika Gunadarma. Diantara 27 peserta diskusi, nampak ikut sebagai peserta diskusi pendiri Hukumonline Ahmad Fikri Assegaf. Diharapkan dengan diskusi ini, para peserta dapat memahami isi dari aturan tender offer Nomor IX.H.1 tanggal 30 Juni 2008 tersebut. Sehingga akan terlihat kelebihan dan kekurangan dari peraturan tersebut.

Bukti antusiasme peserta juga nampak dari banyaknya pertanyaan ditanyakan kepada narasumber. Meski tidak menghadirkan pihak dari Bapepam-LK, namun Felix selalu tanggap dalam menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Sementara Yanuar dengan kritik-kritik pedasnya menunjukan setiap beleid yang dirasa kurang pas bagi kondisi pasar modal di Tanah Air, sehingga jalannya diskusi semakin hangat.

Yang jelas, diskusi ini merupakan satu dari sekian banyak diskusi bulanan yang telah diselenggarakan Hukumonline. Sebagai media online yang peduli terhadap perkembangan hukum, Hukumonline senantiasa mewadahi segala bentuk kegiatan yang terkait dengan hukum.

Dunia hukum memang dinamis. Untuk itu Hukumonline selalu berkomitmen melayani publik seiring dengan kebutuhan atas kepastian hukum dan kepentingan mendapatkan informasi akurat yang semakin penting dan relevan. Semua itu kami anggap sebagai tugas dalam menyediakan akses yang terpercaya bagi segenap pelanggan dan pengguna kami. Salah satunya melalui forum diskusi. Jadi, silahkan tunggu diskusi-diskusi kami berikutnya.

(Red)

UKM Harus ke Pasar Modal
Sebanyak 2.000 Perusahaan Layak "Go Public"
Selasa, 11 Maret 2008 | 00:42 WIB

Jakarta, Kompas - Usaha kecil dan menengah di Indonesia sebaiknya tidak lagi hanya mencari sumber pembiayaan dari institusi perbankan. Sekalipun masih memiliki banyak kelemahan dan kendala, sudah saatnya UKM memanfaatkan pasar modal sebagai alternatif sumber pembiayaan.

Hal itu disampaikan Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Sandiaga Uno seusai menandatangani perjanjian kerja sama dengan PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) dan Centre for Finance, Investment and Securities Law (CFISEL), Senin (10/3) di Jakarta. Ketiga institusi ini bekerja sama melakukan riset independen mengenai pemanfaatan pasar modal sebagai sumber pembiayaan alternatif bagi pelaku UKM.

Sandiaga mengatakan, institusi perbankan tidak lagi dapat terlalu diandalkan karena selama ini hanya menyentuh sebagian kecil UKM di Indonesia. ”Untuk mengembangkan usaha, sudah saatnya UKM masuk ke pasar modal,” kata Sandiaga.

Menurut dia, dari sekitar 40 juta UKM di Indonesia, 2.000 perusahaan sudah layak masuk menjadi perusahaan publik tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Nilai aktiva 2.000 perusahaan itu berada pada kisaran Rp 25-50 miliar.

Contoh negara maju

Peneliti dari CFISEL, M Faiz Aziz, mengatakan bahwa memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pembiayaan sudah lama dilakukan UKM di sejumlah negara maju. Misalnya, Kanada dengan bursa bernama TSX Venture Exchange yang merupakan anak perusahaan dari Toronto Stock Exchange serta Inggris dengan Investment Market yang merupakan anak perusahaan dari London Stock Exchange.

Berbeda dengan Indonesia, di kedua bursa di atas, kata Faiz, hampir tidak ada persyaratan yang berat bagi UKM untuk bisa masuk ke pasar modal, seperti harus mencatat laba selama dua tahun berturut-turut atau harus memiliki aset dalam jumlah tertentu. Untuk masuk ke pasar modal, UKM di Inggris dan Kanada cukup menggunakan jasa nominated advisor—sejenis underwriter atau penjamin emisi efek.

Nominated advisor ini akan memberikan petunjuk dan nasihat tentang apa yang harus dilakukan UKM. Rekomendasi dari nominated advisor juga menjadi kunci kepercayaan masyarakat terhadap saham UKM tersebut.

Presiden Direktur BPUI Boyke W Mukijat menambahkan, Indonesia memiliki potensi UKM yang cukup besar. Karena itu, perlu dipelajari mekanisme masuknya UKM ke pasar modal luar negeri dan lantas disesuaikan dengan kondisi Indonesia.

Direktur Utama BEI Erry Firmansyah menyambut baik jika UKM memiliki keinginan untuk masuk bursa. Menurutnya, BEI telah menyediakan tempat bagi perusahaan skala menengah ke bawah untuk tercatat di papan pengembangan. Papan Pengembangan adalah papan untuk mencatatkan saham dari perusahaan yang memiliki aktiva bersih berwujud minimal Rp 5 miliar dan memiliki pengalaman operasional minimal 12 bulan. (REI)


URL: http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/11/00421150


UKM Berpotensi Masuk Bursa


Jakarta-Sebanyak 1.700 usaha kecil dan menengah (UKM) dari 40 juta UKM berpotensi masuk pasar bursa. Pasar modal bisa menjadi alternatif pembiayaan bagi pelaku UKM di samping perbankan.
“Minimnya modal bagi pengembangan usaha yang sebenarnya bisa diperoleh dari bank tapi karena tidak memiliki agunan, UKM tidak bisa mengakses pembiayaan dari bank,” kata Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Sandiaga Uno, Senin (10/3).
Hal itu dikemukakan seusai HIPMI bersama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) dan Center for Finance, Investment and Securities Law (CFISEL) menandatangani kesepakatan riset independen mengenai alternatif pembiayaan bagi usaha kecil dan menengah bagi pelaku UKM melalui pasar modal. Riset ditargetkan selesai dalam jangka waktu enam bulan.
Menurut Sandiaga, banyak kendala yang dihadapi UKM untuk masuk ke bursa, seperti badan hukum, besarnya aset, biaya yang mahal, kurangnya pengetahuan dan kemampuan dalam mengelola perusahaan terbuka dan sebagainya.
Oleh karena itu, kata Sandiaga, tujuan riset ini adalah memetakan peluang dan tantangan bagi pelaku UKM untuk memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pembiayaan alternatif. Dengan demikian bisa memecahkan kesulitan UKM memasuki pasar modal. Hasil penelitian juga akan menjadi masukan bagi regulator di pemerintahan maupun pasar modal agar membuat kebijakan yang lebih akomodatif bagi pelaku UKM.
Menurutnya, UKM dengan modal Rp 5-50 miliar layak masuk pasar modal. Jumlah UKM pada skala permodalan tersebut dinilai cukup banyak, terutama anggota HIPMI yang 95 persen dari 30.000 anggota di sektor UKM. "Sehingga sangat penting bagi HIPMI untuk berpartisipasi dalam penelitian ini," katanya.
Peneliti CFISEL M Faiz Aziz mengatakan UKM bisa memanfaatkan pasar modal sebagai sumber pembiayaan. Hal itu sudah banyak terjadi di luar negeri, seperti Kanada (Toronto Stock Exchange/TSX) dan Inggris (London Stock Exchange/LSE).
(naomi siagian)

URL: http://www.sinarharapan.co.id/berita/0803/11/uang05.html


Overview tentang Prinsip-prinsip Hukum Trust

Oleh Muhammad Faiz Aziz[1]

I. Apa yang dimaksud dengan Trust?

Black’s Law Dictionary mendefinisikan Trust sebagai berikut:

The right, enforceable solely in equity, to the beneficial enjoyment of property to wich another person holds the legal title; a property interest held by one person (the trustee) at the request of another (the settlor) for a benefit of a third party (the beneficiary). For a trust to be valid, it must include a specific property, reflect the settlor’ s interest, and be created for a lawful purpose.[2]

Di samping definisi di atas, terdapat juga pengertian bahwa “a trust exist when a legal owner of property has to deal with that property for the exclusive benefit of another persons of for certain lawful purpose. The legal owner is called trustee and has a rights at law o hold and manage the property. The person or persons of benefit or whom the trustee must deal is the beneficiary.”[3]

Dari definisi atau pengertian di atas trust merupakan suatu konsep pemisahan kepemilikan antara pemilik benda secara hukum (legal owner) dan pemilik manfaat atas benda tersebut (beneficiary owner). Trust ini terjadi apabila terdapat suatu pihak yang mula-mula menguasai dan memiliki atas benda tersebut (settlor) kemudian menyerahkan hak milik atas benda kepada pihak lain (trustee) untuk kepentingan dan manfaat pihak ketiga (beneficiary). Benda yang dikuasai oleh trustee akibat penyerahan tersebut tidaklah kemudian dengan seenaknya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan dirinya, namun trustee (walaupun sebagai legal owner atas benda tersebut) hanyalah berkedudukan sebagai pengurus, pengelola, dan pemegang benda tersebut. Sedangkan, manfaat atau kegunaannya harus diberikan kepada pihak ketiga.

Awal mula Trust berasal dari Inggris dengan sistem hukum common law-nya. Trust timbul karena adanya equity, dan tanpa adanya equity maka tidak ada trust.[4] Secara historis, equity adalah sistem yang berada di luar sistem common law dan merupakan prinsip-prinsip etikal yang dikembangkan oleh Court of Chancery. Court of Chancery sendiri merupakan suatu pengadilan yang memiliki extraordinary jurisdiction yang dibentuk untuk menyelesaikan perkara-perkara yang tidak dapat diselesaikan di dalam pengadilan common law.[5]

II. Apa persyaratan sahnya suatu trust?

Suatu trust memiliki karakteristik diantaranya adalah terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat yaitu settlor (pemilik asal), trustee (pemilik secara hukum setelah dialihkan), dan beneficiary (pemilik manfaat atau equity). Namun, untuk sahnya suatu trust, maka terdapat 3 (tiga) persyaratan yang harus dipenuhi yaitu sebagai berikut[6]:

1. Certainty of words;

2. Certainty of subject; dan

3. Certainty of object

Yang dimaksud dengan certainty of words adalah adanya kepastian tentang kata-katanya atau tujuannya (intention). Dalam hal ini harus ada kepastian kata-kata yang menunjukkan settlor sudah mantap dengan keputusannya dengan menciptakan trusts.[7] Sedangkan yang dimaksud dengan certainty of subject adalah adanya kepastian mengenai sebjeknya yaitu benda atau properti.[8] Terakhir, yang dimaksud dengan certainty of object adalah adanya beneficiary yang akan menerima manfaat atas benda trust ini[9]. Ketiga syarat di atas harus ada, dan ketiadaan salah satunya menyebabkan bahwa peralihan kepemilikan atas benda tersebut tidaklah menciptakan suatu trusts.

III. Kedudukan Trustee dan Benerficiary terhadap benda atau properti Trust

Baik trustee maupun beneficiary mempunyai kepentingan atas kekayaan atau benda atau properti trust. Trustee merupakan legal owner dan beneficiary merupakan equitable owner atau beneficial owner. Jadi, legal interest dan equitable interest dapat berdampingan dalam kekayaan yang sama.

Dalam hal demikian, maka legal owner memiliki posisi yang lebih kuat atau dominan, karena:

1. Ia dapat menjual kekayaan tersebut dan mengalahkan equitable interest yang melekat pada kekayaan tersebut;

2. Ia dapat menuntut kembali kekayaan tersebut dari setiap orang yang secara melawan hukum menguasainya.

Jadi, hal dari legal owner merupakan hak kebendaan (real right atau right in rem) yang melekat pada benda itu sendiri dan dapat dipertahankan terhadap setiap orang.[10]

Sedangkan equitable owner memiliki posisi yang lemah karena:

1. Hak atas kekayaan itu sendiri dapat musnah atau dikalahkan dengan dijualnya kekayaan tersebut oleh legal owner.

2. Haknya hanya dapat dipaksakan terhadap orang-orang yang memperoleh kepemilikan secara hukum atas kekayaan yang mengetahui akan adanya equitable interest-nya.[11]

Dengan demikian, hak dari equitable owner merupakan hak perorangan (personal right atau right in personam) yaitu suatu hak yang hanya dapat dipertahankan terhadap orang tertentu.

Baik trustee maupun beneficiary memperoleh hak dan kewajiban akan trust tersebut dari 3 (tiga) sumber yaitu akta trust (trust deed), putusan hakim (case law), dan peraturan perundang-undangan (statutory law or legislation).[12]

IV. Macam-macam Trust

Macam atau jenis trust dapat dilihat dari obyeknya ataupun dari cara terbentuknya. Dilihat dari obyeknya, ada 2 macam trust yaitu:[13]

1. Private trust, yaitu trust untuk kepentingan seseorang tertentu atau sekelompok orang; dan

2. Public trust, yaitu trust untuk tujuan kepentingan umum, misalnya trust untuk kepentingan kemajuan pendidikan.

Dilihat dari cara terbentuknya, maka terdapat 2 macam trust, yaitu sebagai berikut:[14]

1. Express trust, yaitu trust yang dibentuk secara tegas oleh pembuat trust. Suatu trust dapat dikatakan juga sebagai express trust apabila masih dapat diketahui secara pasti kehendak atau keinginan pokok dari pihak yang melahirkan trus tersebut.

2. Implied Trust, yaitu trust yang dibentuk dimana kepentingan atau keinginan dari settlor tidak disebutkan secara tegas dalam perbuatan hukum yang melahirkan trust tersebut. Implied Trust ini terbagi lagi menjadi 2 macam yaitu:

a. Resulting trust, yaitu trust yang dapat disimpulkan dari perbuatan hukum para pihak; dan

b. Constructive trust, yaitu trust yang terbentuk karena pelaksanaan hukum dan pelaksanaannya dipaksakan oleh pengadilan.

Disamping jenis-jenis di atas terdapat satu jenis lagi yang diklasifikasikan yaitu Statutory Trust, dimana trust dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan.[15]

V. Ciri atau karakteristik Trust

Ciri atau karakteristik trust dapat dilihat baik secara tradisional maupun berdasarkan perkembangan waktu. Ciri-ciri ini berkembang setiap waktunya seiring dengan perkembangan ekonomi dan hukum.

Secara tradisional, ciri dan karakteristik dari Trust adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Maurizio Lupoi, yaitu sebagai berikut:[16]

1. Adanya penyerahan suatu benda kepada Trustee, atau suatu pernyataan Trusts;

2. Adanya pemisahan kepemilikan benda tersebut dengan harta kekayaan milik Trustee yang lain;

3. Pihak yang menyerahkan benda tersebut (settlor), kehilangan kewenangannya atas benda tersebut;

4. Adanya pihak yang memperleh kenikmatan (beneficiary) atau suatu tujuan penggunaan benda tersebut, yang dikaitkan dengan kewajiban trustee untuk melaksanakannya;

5. Adanya unsur kepercayaan dalam penyelenggaraan kewajiban trustee tersebut, khususnya yang berkaitan dengan benturan kepentingan.

Ciri-ciri Trusts dalam tradisi hukum common law dalam perkembangannya bertambah memiliki ciri atau karakteristik sebagai berikut:[17]

1. Trusts melibatkan eksistensi dari 3 pihak, yaitu settlor, trustee dan beneficiary. Eksistensi dari 3 pihak ini dapat terjadi karena kehendak (dalam hal kematian – trust will) atau berdasarkan pada perjanjian (dalam hal penyerahan benda terjadi selama settor masih hidup – inter vivos trusts);

2. Dalam suatu trust selalu terjadi penyerahan benda atau hak kebendaan atas suatu benda. Hak kebendaan yang diserahkan ini dapat merupakan hak kebendaan yang paling luas (yaitu hak milik) maupun hak kebendaan yang merupakan turunan dari hak milik (misalnya dalam hal pemberian jaminan kebendaan dalam Indenture Trusts). Penyerahan hak kebendaan ini dilakukan oleh settlor kepada trustee.

3. Penyerahan benda atau hak kebendaan oleh settlor kepada trustee tersebut senantiasa dikaitikan dengan kewajiban trustee untuk menyerahkan kenikmatan atau manfaat atau hasil pengelolaan benda atau hak kebendaan yang diserahkan oleh settlor tersebut kepada beneficiary. Kewajiban tersebut disebutkan dengan tegas di dalam pernyataan atau perjanjian yang menciptakan trusts, peraturan perundang-undangan, atau putusan hakim.

4. Benda atau hak kebendaan yang diserahkan oleh settlor kepada trustee meskipun tercatat atas nama trustee haruslah merupakan kekayaan yang terpisah dari trustee;

5. Pada umumnya settlor, trustee, dan beneficiary adalah 3 pihak yang berbeda. Walau tidak selalu atau sering terjadi, settlor dimungkinkan untuk dapat menjadi beneficiary, demikian juga dengan trustee, dalam hal tertentu dapat juga menjadi beneficiary.

VI. Trust dalam transaksi komersial

Trust dalam perkembangan selanjutnya melebar masuk ke dalam transaksi komersial misalnya di dalam transaksi pasar modal. Transaksi Sekuritisasi, reksadana, dan penerbitan obligasi menjadi diantara transaksi yang menggunakan konsep trust. Dalam transaksi-transaksi ini yang menjadi settlor adalah originator (sekuritisasi) dan Investor (reksa dana dan obligasi). Sedangkan yang menjadi trustee adalah bank kustodian ataupun manajer investasi sebagai legal owner atas efek-efek yang diperdagangkan. Sedangkan beneficiary dari transaksi ini adalah investor sendiri. Baik perusahaan efek maupun manajer investasi sendiri, keduanya bisa juga berlaku sebagai beneficiary dalam transaksi di pasar modal. Transaksi di pasar modal membuat trust berkembang dan menjadi kompleks dimana masing-masing pihak dapat juga bertindak menjadi pihak lainnya.

VII. Trust dalam sistem hukum Indonesia

Konsep trust secara murni tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia terutama di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Namun sekalipun tidak dikenal, Prof Subekti melihat beberapa kemiripan antara trust dengan lembaga hukum yang berlaku di Indonesia.[18] Subekti merujuk kepada Pasal 1317 KUHPer yang berbunyi sebagai berikut:

Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu.

Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya.[19]

Perjanjian untuk pihak ketiga dalam pasal ini disebut dengan derden beding, dimana bedingnya bagi pihak ketiga tersebut merupakan suatu embel-embel dari suatu perjanjian pokok yang dibuat oleh dua orang lain, sedang dalam hal trust perjanjian itu semata-mata dibuat untuk menciptakan trust tersebut.[20]



[1] Muhammad Faiz Aziz adalah peneliti CFISEL.

[2] Bryan A. Gardner, Black’s Law Dictionary, 7th ed., (St. Paul, Minnesota: West Group, 1999), p. 1513.

[3] Roger Douglas & Jane Knowler, Trusts in Principle, (Sydney: Lawbook Co., 2006), p. 2.

[4] Gunawan Widjaja, Teori dan Konsepsi tentang Trusts (Common Law Trusts dan Civil Law Trusts), PPH Newsletter, (Edisi No. 61/Juni/2005), hal. 16. Kutipan asli berasal dari Peter Joseph Loughlin, The Domestication of the trust: Bridging the Gap between common law and civil law, p. 3, http://juristconsultsgroup.com/Trusts.htm. Lebih lanjut dalam Black’s Law Dictionary dikatakan bahwa “equity is the system of law or body of principles originating in the English Court of Chancery and superseding the common and statute law (together called “law” in the narrow sense) when the two conflict . Lihat Bryan A. Gardner, op.cit., p. 560.

[5] Pengadilan Common Law terdiri dari 3 macam yaitu Court of Common Plea, the Court of King’s Bench, dan the Exchequer. Ketiganya dibentuk oleh Raja Henry II pada abad ke-12 dan memiliki ciri yang sangat statis, kaku, dan menunjukkan ketaatan seperti budak raja dan mengambil sebuah putusan. Lihat Roger Douglas & Jane Knowler, op.cit.

[6] Sri Sunarni Sunarto, Mengenal Lembaga Hukum Trust Inggris dan Perbandingannya di Indonesia, (Bandung: Pusat Penerbitan Universitas LPPM Universitas Islam Bandung, 1994), hal. 13-14.

[7] Gunawan Widjaja, Common Law Trusts, PPH Newsletter (Edisi No. 62/September/2005), hal. 23-24.

[8] Roger Douglas & Jane Knowler, op.cit., p. 27.

[9] Dalam public trust kepastian mengenai objek ini tidak diperlukan. Lihat Sri Sunarni Sunarto, op.cit.

[10] Sri Sunarni Sutarto, op.cit., hal. 9-10.

[11] Ibid.

[12] The rights and duties of trustees and beneficiaries derive from three sources: the trust deed, case law, and legislation. Lihat Roger Douglas & Jane Knowler, op.cit., p. 144.

[13] Sri Sunarni Sunarto, op.cit.

[14] Untuk penggolongan ini merujuk kepada penggolongan dari Sri Sunarni Sunarto dan Gunawan Widjaja. Lihat Sri Sunarni Sutarto, op.cit. dan lihat Gunawan Widjaja, loc.cit. hal. 18.

[15] Richard Edwards & Nigel Stockwell, Trusts and Equity, (London: Pearson Education Ltd., 2004), p. 13.

[16] Disebut tradisional karena ciri-ciri yang Trust diutarakan oleh Lupoi mirip dengan ciri-ciri awal trust pada awal mula keberadaan. Lihat Maurizio Lupoi, The Civil Law Trusts, Vanderbilt Journal of Transnational Law (Vol. 32:1999), p. 4.

[17] Gunawan Widjaja, op.cit., hal. 34.

[18] Sri Sunarni, op.cit., hal. 53.

[19] Lihat Pasal 1317 KUHPer.

[20] Sri Sunarni Sutarto, op.cit., hal. 3.