Kamis, 11 September 2008

Overview Pinjam Meminjam Efek

Oleh Muhammad Faiz Aziz[1]

A. Pendahuluan

Pertumbuhan dan perkembangan Pinjam Meminjam Efek (PME) telah berjalan sejak lama dimana jenis transaksi ini telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan pasar modal dan berperan dalam penyelesaian transaksi bursa setiap harinya serta dalam memfasilitasi likuiditas pasar.[2] Pinjam Meminjam Efek merupakan salah fenomena dalam perdagangan efek. Efek, karena nilai dan fleksibilitasnya untuk dipindahtangankan pada dasarnya hampir setara dengan uang. Oleh karena itu, sebagaimana halnya uang, efek juga dipinjamkan oleh pemiliknya kepada orang lain. Peminjaman efek oleh pemiliknya juga dilakukan untuk lebih memberikan manfaat (beneficial) keuangan kepada pemiliknya daripada hanya sekedar disimpan saja.[3]

Apa yang dimaksud dengan PME itu sendiri? PME adalah sebagai berikut:

Securities lending is the temporary transfer of a security by its owner to another investor or financial intermediary. Once the securities have settled, the title and voting rights are transferred to the borrower, who can sell or re-lend the borrowed securities during the life of the loan. In return, the borrower agrees to return the loaned securities, secure the loan with collateral of equal or greater value than the loaned securities, and pay any user fees (implicit or explicit), and remit to the lender any dividends, coupon interest or other distributions that occur during the time the securities are on loan.[4]

International Organization of Securities Commissions (IOSCO) and the Committee on Payment and Settlement Systems (CPSS) of the central banks of Group of Ten countries menyebut transaksi PME ini dengan Securities-driven securities lending transactions.[5] Hal ini untuk membedakannya dengan Cash-driven securities lending transactions. Yang dimaksud dengan Securities-driven securities lending transactions sendiri adalah transactions whose motivation lies in borrowing/lending specific securities via a repo or securities loan.[6] Sedangkan yang dimaksud dengan Cash-driven securities lending transactions adalah transactions motivated by the wish to borrow/invest a cash amount through a repo (or loan) of securities.[7] Perbedaan keduanya jelas bahwa dalam Securities-driven securities lending transactions yang menjadi objek adalah Efek, sedangkan dalam Cash-driven securities lending transactions yang menjadi objek adalah uang.

PME merupakan suatu kegiatan yang bersifat temporer atau sementara, dimana suatu pihak yang memiliki Efek dapat memberikan pinjaman Efek kepada pihak lain beserta segala hak yang melekat atas Efek tersebut dengan imbalan berupa biaya dan pendapatan peminjaman. Atas peminjaman tersebut pula, pemberi pinjaman berhak atas agunan atau jaminan terhadap pinjaman Efek yang diberikannya kepada penerima pinjaman Efek.

Di pasar modal Indonesia, transaksi ini difasilitasi oleh PT Kliring dan Penjaminan Efek Indonesia (KPEI) sebagai Lembaga Kliring dan Penjaminan (LKP) sejak tahun 2001. KPEI telah mengeluarkan beberapa peraturan mengenai transaksi ini dan menyediakan sistem dan fasilitas PME ini di pasar modal. Yang dimaksud dengan PME itu sendiri menurut Peraturan KPEI No. II-10 adalah kegiatan pinjam-meminjam suatu Efek antara pihak pemilik Efek sebagai Pemberi Pinjaman dengan KPEI sebagai penerima pinjaman atau antara KPEI sebagai pemberi pinjaman dengan pihak yang yang membutuhkan Efek sebagai Penerima Pinjaman dengan menyerahkan agunan sebagai jaminan, dalam rangka mendukung aktivitas Transaksi Bursa.[8] Disini KPEI dapat bertindak sebagai pihak yang memberikan pinjaman (lender) maupun sebagai pihak yang menerima pinjaman (borrower) atau central counterparty serta sebagai lembaga intermediasi atas transaksi pinjam meminjam tersebut.

Saat ini, Efek-efek yang tercatat di BEJ dan BES termasuk dalam efek yang dapat dipinjamkan (eligible securities), walaupun efek-efek yang dapat dipinjamkan masih terbatas. Efek yang sering ditransaksikan dalam konteks PME ini pun sebagian besar adalah berupa saham.[9]

B. Struktur Transaksi PME secara Umum

Pada dasarnya, transaksi PME merupakan privately negotiated transactions. Transaksi ini dilakukan di luar bursa atau over the counter antara borrower dan lender. Namun, adanya perkembangan transaksi keuangan secara global dan demi masalah keamanan transaksi menjadikan transaksi ini menjadi semakin terbuka dan perlu diwadahi oleh suatu pasar yang kondusif. Secara sederhana, sebenarnya transaksi PME ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Tahap I (Peminjaman)

Dealer

Institutional Investor

Agunan/Jaminan




Efek

Tahap II (Pengembalian)

Dealer

Institutional Investor

Agunan/Jaminan










Efek

Gb. 1. Transaksi PME secara sederhana

Dalam setiap transaksi pinjam meminjam Efek, pemilik Efek yang bersangkutan meminjamkan Efeknya kepada penerima pinjaman (borrower), yang kemudian menimbulkan kewajiban kontraktual bagi borrower untuk mengembalikan Efek tersebut sesuai dengan jumlah dan nominalnya. Disini, lender Efek dapat memintakan agunan atau jaminan atas pinjaman tersebut kepada borrower. Agunan atau jaminan daat berupa uang tunai, Efek-efek lain, sertifikat deposito, dan sebagainya. Dalam praktek, telah menjadi suatu kebiasaan atau standar bahwa agunan atau jaminan yang diberikan kepada pemberi pinjaman harus bernilai lebih dari nilai Efek yang dipinjamkan. Terhadap Efek yang dipinjamkan tersebut, pemberi pinjaman atau lender berhak memperoleh fee atas transaksi PME tersebut.

Ketika lender memberikan Efek-efeknya kepada penerima pinjaman atau borrower, maka segala hak yang melekat terhadap Efek tersebut pindah kepada borrower termasuk hak-hak ekonomis yang dapat diterima oleh borrower dari Efek yang bersangkutan, dan hal ini harus diperjanjikan di dalam perjanjian PME. Apabila ternyata borrower tidak memperoleh hak-hak yang melekat atas Efek ini, maka transaksi PME tidak dapat dijalankan. Borrower harus memperoleh hak-hak atas Efek tersebut walaupun misalnya di belakang hari borrower melakukan default atau wanprestasi. Bagaimana dengan perlindungan terhadap Lender? Perlindungan lender berada pada agunan atau jaminan yang dipegangnya. Apabila borrower lalai, maka lender dapat mengeksekusi agunan atau jaminan yang diberikan oleh borrower.[10]

Peminjaman oleh borrower dari lender memiliki batas waktu, dan pada saat jatuh tempo borrower harus mengembalikan Efek-efek yang dipinjamnya kepada lender sesuai dengan jumlah dan nilai semula disertai dengan biaya atau fee lain.

Di pasar modal, struktur atau mekanisme PME tidaklah sesederhana apa yang digambarkan di atas. Struktur transaksi ini lebih kompleks dari transaksi perdagangan saham biasa.[11] Tiap-tiap transaksi harus memenuhi penyelesaian transaksi yang beragam untuk memastikan performance dari transaksi tersebut dan untuk meminimalisir resiko yang terjadi.

Setiap memulai transaksi, para pihak harus membuat perjanjian PME sebagai dasar transaksi. Para pihak memutuskan Efek mana yang dapat dipinjamkan, kemudian apa jaminan atas Efek yang dipinjamkan, harga, kuantitas, jangka waktu dan marjin. Kesemuanya biasanya telah diatur sedemikian rupa melalui perjanjian standar yang dibuat oleh regulator, demi memberikan perlindungan, dan keamanan bagi para pihak. Setelah melakukan perjanjian, para pihak kemudian mengeksekusi transaksi tersebut. Transaksi tersebut kemudian dilaporkan dan diselesaikan melalui lembaga kliring dan penyelesaian. Setiap transaksi dilakukan melalui pemindahbukuan.

Setiap perubahan nilai Efek dan juga agunan harus dilaporkan kepada regulator yang bersangkutan. Apabila nilai agunan lebih dari nilai Efek yang dipinjam, lender harus mengembalikan kelebihan nilai tersebut kepada borrower. Begitu juga sebaliknya, apabila nilai Efek lebih besar dari nilai agunan, maka borrower harus menambah agunan tersebut sehingga memenuhi syarat atau sesuai dengan nilai Efek yang dipinjam. Pihak lender dan borrower disyaratkan untuk memiliki rekening Efek dan rekening Jaminan yang dibuka melalui LKP.

Berikut di bawah ini struktur transaksi PME di pasar modal secara umum:

Borrower

Lender

Efek














Agunan/Collateral

Broker/Dealer




Gb. 2. Transaksi PME di pasar modal secara umum

C. Struktur Transaksi PME di Pasar Modal Indonesia

Bagaimana struktur transaksi MPE di pasar modal Indonesia? Sebenarnya sama dengan struktur transaksi PME pada umumnya. Transaksi tersebut harus melibatkan LKP yang dalam hal ini adalah KPEI dan Anggota Kliring yang merupakan Anggota Bursa (Perusahaan Efek) serta Bank Kustodian.

Skema transaksi PME di pasar modal Indonesia itu sendiri digambarkan sebagai berikut[12]:

D. Para Pihak dalam Transaksi PME

Secara garis besar sebenarnya terdapat 3 pihak utama sebagai pelaku transaksi PME di pasar modal, yaitu sebagai berikut[13]:

1. Borrower dan lender;

2. Lembaga intermediasi PME; dan

3. Lembaga kliring dan penjaminan.

1. Borrower dan lender

Baik borrower dan lender sebenarnya merupakan end-user yang menikmati transaksi PME. Di pasar modal, kedua pihak ini tidak dapat “bertemu langsung”, namun harus melalui lembaga intermediasi seperti broker atau dealer, dan LKP. Lembaga-lembaga ini biasanya ada dan harus ada dalam transaksi PME seperti halnya dalam transaksi perdagangan Efek biasa.

Pada umumnya yang menjadi lender adalah investor institusional yang memiliki Efek-efek untuk kepentingan jangka panjang seperti lembaga dana pensiun, perusahaan asuransi, dan mutual funds. Mereka tertarik untuk menggunakan skema PME untuk menghasilkan penghasilan atas Efek yang dipinjamkan.[14] Sedangkan, pihak yang menjadi borrower adalah biasanya perusahaan yang mempunyai kepentingan untuk menyelesaikan transaksi bursa yang sedang dilakukan. Perusahaan berada dalam keadaan ini karena misalnya dia memiliki kewajiban untuk mengirimkan Efek yang dijual namun Efek yang bersangkutan belum dikuasai, atau karena dia membuka short position seperti menjual Efek yang tidak dimilikinya, atau sebab-sebab lainnya. Umumnya perusahaan seperti ini adalah perusahaan broker atau dealer.

Di Indonesia, pihak yang dapat menjadi borrower dan lender ditentukan oleh Peraturan No. II-10 tentang Jasa Pinjam Meminjam Warkat. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa lender atau pemberi pinjaman merupakan Anggota Kliring dan pihak lain yang ditentukan KPEI dan menandatangani perjanjian.[15] Sedangkan, pihak yang menjadi borrower atau penerima pinjaman adalah Anggota Kliring yang telah memenuhi persyaratan yang ditentukan KPEI dan menandatangani perjanjian.[16] Pengaturan atas pihak borrower dan lender tersebut hanya terbatas meliputi pihak-pihak yang umumnya bertransaksi di bursa, tidak meluas kepada investor baik individual ataupun institusional. Padahal merekalah sebenarnya yang umumnya memiliki Efek-efek yang dipinjamkan.

Antara pihak borrower dan lender sebagaimana disebutkan di atas, terdapat perbedaan batasan pihak. Pihak yang dapat menjadi lender lebih luas daripada borrower. Ada kemungkinan hal ini didasarkan kepada kebiasaan yang terjadi pada transaksi umumnya dan kebutuhan atas transaksi tersebut. Tujuan PME ini adalah untuk penyelesaian dan penjaminan transaksi bursa. Dalam proses penyelesaian tersebut, pihak yang paling utama membutuhkan pinjaman Efek adalah Anggota Bursa, dan untuk menyelesaikan tersebut ada kebutuhan untuk melakukan pinjaman Efek sesegara mungkin agar transaksi yang bersangkutan tidak default. Pinjaman ini sebenarnya tidak lain dari perbuatan menalangi terlebih dahulu. Selanjutnya, untuk menjadi pihak lender bisa siapa saja selama dia memiliki Efek-efek yang eligible yang mungkin dalam keadaan iddle atau menganggur.

Dalam transaksi PME, baik borrower dan lender memiliki hak dan kewajiban sebagai berikut[17]:

a. Lender atau pemberi pinjaman

(1) Lender berhak mendapatkan pengembalian Efek yang dipinjamkan, pada saat penyelesaian Pinjam-Meminjam Efek jatuh tempo atau pada waktu lainnya sebagaimana ditetapkan dalam Perjanjian. Pengembalian Efek dilaksanakan dengan jenis, jumlah dan klasifikasi yang sama dengan Efek yang dipinjamkan dan atau hak-hak yang melekat pada Efek dimaksud;

(2) Lender berhak mendapatkan imbalan jasa peminjaman Efek (fee) yang besarnya ditetapkan dalam Perjanjian;

(3) Sewaktu-waktu dapat melakukan penarikan Efek yang dipinjamkan kepada KPEI (recall), setelah jangka waktu minimal sebagaimana dimaksud dalam Perjanjian dilampaui;

(4) Lender berhak mendapatkan laporan dari KPEI mengenai status harian Efek yang dipinjamkan.

(5) Lender wajib menyediakan Efek yang akan dipinjamkan dalam Rekening Pinjam-Meminjam;

(6) Lender wajib memberikan instruksi terbuka (standing instruction) kepada KPEI untuk memindahbukukan Efek dari Rekening Pinjam-Meminjam Pemberi Pinjaman ke Rekening Pinjam-Meminjam KPEI;

(7) Lender wajib menyampaikan instruksi penarikan Efek kepada KPEI, dalam hal Pemberi Pinjaman bermaksud menggunakan hak-hak yang melekat pada Efek terbatas pada voting right, hak memesan Efek terlebih dahulu, waran, penawaran tender (tender offer).

b. Borrower atau pemberi pinjaman

(1) Borrower berhak mendapatkan pinjaman Efek yang dipinjam pada waktu yang diminta apabila telah memenuhi persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan ini dengan memperhatikan ketersediaan Efek yang dipinjam;

(2) Borrower berhak menarik kelebihan nilai agunan;

(3) Borrower berhak menarik agunan Pinjam-Meminjam Efek yang telah disetorkan kepada KPEI, pada saat Penerima Pinjaman telah mengembalikan Efek yang dipinjam.

(4) Borrower wajib menyediakan agunan Pinjam-Meminjam Efek di Rekening Jaminan pada saat melakukan peminjaman Efek sesuai Perjanjian;

(5) Borrower wajib mengembalikan Efek dengan jenis, jumlah dan klasifikasi yang sama dengan Efek yang dipinjam, pada saat Pinjam-Meminjam Efek jatuh tempo atau pada waktu lainnya sebagaimana ditetapkan dalam Perjanjian;

(6) Borrower wajib memindahbukukan Efek yang dipinjam ke Rekening Efek Serah pada saat pengembalian;

(7) Borrower wajib mengembalikan hak yang melekat pada Efek yang dipinjam yang timbul sebagai akibat terjadinya Corporate Action terbatas pada dividen Efek, dividen tunai, bonus Efek, dan bonus tunai;

(8) Borrower wajib membayar imbalan jasa Pinjam-Meminjam Efek kepada KPEI yang besar dan waktu serta tatacara pembayarannya sesuai dengan Perjanjian.

Dari hak dan kewajiban di atas, ada satu hal yang menarik yaitu mengenai hak lender atas Efek yang dipinjamkan. Pada praktek umumnya, hak tersebut lepas dari lender sehingga borrower memiliki legal tittle atas Efek tersebut sebagaimana halnya sebagai seorang pemilik dari hasil pembelian. Borrower dapat memperoleh hak ekonomis dari kekuasaannya dalam memegang Efek. Bagaimana sebenarnya hal ini diatur dalam hukum perjanjian pinjam meminjam di Indonesia? Apakah sebenarnya peminjam berhak atas segala hak yang melekat pada benda yang menjadi objek pinjaman tersebut? Di dalam Pasal 1775 KUH Perdata disebutkan bahwa penerima pinjaman atau borrower menjadi pemilik barang yang dipinjam. Namun, ketentuan tersebut hanya berlaku bagi perjanjian atas barang-barang yang habis karena pemakaian berdasarkan Pasal 1774 KUH Perdata. Bagaimana dengan barang-barang yang tidak habis karena pemakaian seperti halnya Efek? Di dalam KUH Perdata yang khusus mengatur pinjam meminjam di situ tidak disebutkan apa akibat hukumnya, namun hal ini diatur dalam ketentuan mengenai pinjam pakai, dimana di situ disebutkan bahwa pihak yang meminjamkan atau lender tetap menjadi pemilik barang yang dipinjamkan (Pasal 1741 KUH Perdata). Pengaturan ini seharusnya merupakan pengaturan dasar atas PME ini. Efek yang dipinjamkan karena sifat dan karakteristiknya bukanlah barang yang habis karena pemakaian, dan karenanya setiap habis digunakan hal ini harus dikembalikan kepada pemiliknya semula.

Implikasi atas ketidakberalihan hak milik atas Efek yang dipinjam pakai tersebut adalah bahwa si borrower tidak memiliki hak-hak yang melekat atas Efek tersebut. Borrower hanya memiliki hak untuk menggunakan saja atas Efek-efek tersebut sesuai keperluannya.

Dalam Peraturan KPEI No. II-10 di situ tidak disebutkan mengenai beralih tidaknya kepemilikan Efek dari lender kepada borrower. Akan tetapi, bila melihat ketentuan di dalam angka 6 huruf b butir iii dan angka 7 huruf a serta ketentuan angka 10, secara tidak langsung ditentukan bahwa lender tetap memiliki hak-hak yang melekat atas Efek tersebut termasuk hak suara, dividen, dan bonus, sedangkan borrower tidak memiliki hak terhadap Efek-efek yang dipinjamnya. Namun, borrower punya hak untuk menggunakan hak-hak ekonomis di atas asalkan ketika jangka waktu PME berakhir, hak tersebut harus dikembalikan kepada lender.

2. Lembaga intermediasi PME

Pihak yang menjadi lembaga intermediasi disini merupakan anggota bursa, broker/dealer, ataupun bank kustodian yang melakukan jasa PME atas instruksi nasabahnya baik nasabah borrower maupun lender. Peraturan KPEI No. II-10 secara tidak langsung menentukan bahwa Anggota Kliring yang biasanya adalah Anggota bursa menjadi lembaga intermediasi dalam PME.

Dalam peraturan KPEI tersebut, tidak disebutkan apa dan bagaimana hak dan kewajiban Anggota Kliring dalam menjalankan peran sebagai lembaga intermediasi, namun hanya menjelaskan hak dan kewajiban sebagai pihak borrower atau lender. Padahal ini penting untuk menegaskan perannya sebagai lembaga intemediasi bagi nasabah.

Pada hakikatnya, peran dari lembaga intermediasi ini adalah sebagai penyedia jasa atau servicer bagi nasabah atau investor yang hendak melakukan PME. Pada umumnya, nasabah borrower/lender PME sangat tergantung kepada jasa lembaga ini dalam hal pengelolaan dan administrasi Efek dalam PME, termasuk pengelolaan agunan/jaminan, pendapatan atau fee, dan Efek itu sendiri. Peran lembaga intermediasi ini dalam PME pada hakikatnya pula adalah sama dengan peran dalam melakukan perdagangan Efek.[18]

3. Lembaga Kliring dan Penjaminan

Pihak ini berperan dalam penyelesaian dan penjaminan transaksi bursa. Di Indonesia, lembaga ini adalah KPEI untuk di pasar modal dan BI untuk di sektor perbankan. Khusus mengenai PME, KPEI sesuai perannya adalah sebagai LKP atas transaksi tersebut sebagaimana halnya perdagangan Efek. Selain itu, lembaga ini juga dapat berperan sebagai central securities depositories, dimana dia menyediakan jasa administrasi dan pembukaan rekening-rekening yang terkait dengan Efek serta pemindahbukuan atas Efek tersebut seperti rekening Pinjam Meminjam dan rekening jaminan untuk menyimpan dan membukukan jaminan atas transaksi bursa.

KPEI juga dapat menjadi central counterparty atau sebagai borrower atau lender juga maupun sebagai lembaga intermediasi. Sebagai borrower atau lender, KPEI menerbitkan perjanjian standar PME khusus yang melibatkan dirinya baik sebagai borrower atau lender. Perjanjian ini diadopsi dari OSLA (Overseas Securities Lending Agreement). Dalam konteks perannya sebagai borrower atau lender, KPEI harus mematuhi ketentuan yang dibuatnya dalam masalah hak dan kewajiban sebagai lender atau borrower.

E. Jangka waktu dan Jaminan atau agunan dalam PME

Dalam setiap pasar modal di berbagai negara, jangka waktu transaksi PME dibuat berdasarkan open basis, dimana Efek-efek yang dipinjamkan dapat dikembalikan oleh borrower atau di-recall oleh lender kapan saja atau setiap waktu. Dalam prakteknya pula, terdapat berbagai variasi jangka waktu yang mana di tiap-tiap negara berbeda, namun biasanya jangka waktu tersebut hampir seragam yaitu antara 1 hari sampai dengan 2-3 bulan.[19] Di pasar modal Indonesia, jangka waktu ini adalah minimal 1 hari dan maksimal 90 hari serta dapat diperbarui.[20]

Mengenai agunan atau jaminan terhadap PME ini, umumnya objek yang dijadikan sebagai agunan adalah uang tunai, Efek-efek, ataupun standby Letter of Credit (L/C). Begitu pula dengan PME di Indonesia, objek yang dijadikan agunan tersebut adalah hampir sama, yaitu agunan berupa uang yang ada di dalam rekening jaminan, Efek-efek eligible securities yang ditetapkan lembaga kliring dan penjaminan, dan offline collateral yang terdiri dari deposito, sertifikat deposito, SBI, dan L/C. Pihak borrower dapat menjaminkan satu jenis agunan ataupun semuanya asalkan memiliki nilai yang sama atau sesuai dengan Efek yang dipinjamkan.

Mengenai rasio nilai agunan yang dijaminkan terhadap Efek bermacam-macam, biasanya antara 102 % - 110 %, namun umumnya adalah 105 %.[21] Perhitungan nilai agunan ini juga tergantung dari jenis objek apa yang dijamin. Apabila agunannya misalnya uang, maka jumlahnya harus 100 % atau setara dengan nilai pasar Efek tersebut. Kalau misalnya agunannya berupa Efek, maka perhitungannya berdasarkan marked to market. Di pasar modal Indonesia, KPEI sebagai Lembaga Kliring dan Penjaminan menentukan bahwa nilai agunan minimal adalah 125 % dari nilai pinjaman.[22] Hal ini tentunya dalam rangka melindungi lender dari resiko-resiko atas PME.

F. Keadaan Wanprestasi dan sanksinya

Secara umum, dalam hukum perikatan suatu pihak dikatakan lalai atau wanprestasi berdasarkan suatu akta, atau perikatan/perjanjian, atau karena lewatnya jangka waktu (Pasal 1238 KUH Perdata). Begitupun dalam perjanjian pinjam meminjam atau pinjam pakai, suatu pihak dikatakan lalai apabila dia tidak memenuhi kewajiban yang diatur dalam perjanjian tersebut.

Dalam konteks PME, secara umum suatu pihak dikatakan wanprestasi apabila tidak memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian PME atau kegiatan yang dilakukan oleh suatu pihak tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan No. II-10 atau salah satu pihak dicabut izinnya oleh otoritas pasar modal dan bursa. Secara lebih khusus lagi, kegagalan dalam menyerahkan Efek baik dalam proses peminjaman dan pengembalian merupakan suatu wanprestasi. Di samping itu, gagal dalam dalam menyerahkan Efek pengganti yang sepadan, dan gagal dalam memenuhi kewajiban fee, agunan ,dan gagal mengembalikan hak-hak yang melekat atas Efek merupakan suatu tindakan wanprestasi.[23]

KPEI sebagai Lembaga Kliring dan Penjaminan telah menentukan sanksi sebagai berikut:

1. Dalam hal terjadi kegagalan pengembalian Efek, dan borrower telah membayar ganti rugi atas kegagalan tersebut, dia memperoleh sanksi tidak akan mendapatkan pelayanan jasa PME terhitung atas sejak kegagalan tersebut dengan sanksi berupa suspend mulai dari 1 bulan sampai dengan 3 bulan dan atau pencabutan dari keanggotaan PME.

2. Dalam hal terjadi kegagalan pengembalian Efek dan gagal juga dalam membayar kompensasi ganti rugi, maka borrower tersebut dinyatakan gagal bayar, dan terhadapnya dapat diberikan sanksi berdasarkan Peraturan No. II-7 tentang Kegagalan Pemenuhan Hak dan Kewajiban Anggota Kliring secara Pemindahbukuan dan Penanganannya, maupun sanksi pencabutan sebagai Anggota Bursa Efek. Terhadap jenis kegagalan ini, KPEI dapat melakukan tindakan sehubungan dengan penanganan kegagalan ini demi kembalinya Efek-efek dan hak yang melekat atas Efek tersebut berdasarkan Peraturan KPEI No. II-7.

3. Begitupun dalam hal terjadi kegagalan pengembalian dividen Efek dan atau bonus Efek sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, maka borrower harus membayar kompensasi ganti rugi kegagalan pengembalian dividen Efek dan atau bonus Efek yang besarnya ditentukan dalam Perjanjian. Apabila Penerima Pinjaman tidak membayar kompensasi ganti rugi pada waktu dan sesuai dengan jumlah yang ditetapkan KPEI, maka Penerima Pinjaman dinyatakan Gagal Bayar dan baginya berlaku ketentuan tentang Gagal Bayar sesuai Peraturan KPEI nomor II-7, dan KPEI dalam hal ini melakukan tindakan sehubungan dengan penanganan kegagalan ini demi kembalinya Efek-efek dan hak yang melekat atas Efek tersebut berdasarkan Peraturan tersebut.



[1] Muhammad Faiz Aziz adalah peneliti CFISEL.

[2] Technical Committee of the International Organization of Securities Commissions (IOSCO) and the Committee on Payment and Settlement Systems (CPSS) of the central banks of Group of Ten countries, Securities Lending Transactions: Market Developments and Implications, (Joint Working Group of IOSCO & BIS, 1999), www.bis.org and www.iosco.org, diakses tanggal 14 Mei 2007.

[3] Hamud M. Balfas, Hukum Pasar Modal Indonesia, (Jakarta: Tatanusa, 2006), hal. 395. Dalam salah satu kutipan buku itu disebutkan bahwa ”investor who own securities can enhace the return on their investment by lending securities to those who borrow.” Michael Simmons, Securities Operations: A Guide to Trade and Position Management, (New York: John Wiley & Sons, Ltd., 2002), page 317.

[4] International Securities Lending Association, Securities Lending Fundamentals, http://www.isla.co.uk/sl_fundamentals.asp, diakses tanggal 14 Mei 2007.

[5] Technical Committee of IOSCO and CPSS, op.cit, page 5.

[6] Ibid., page 67.

[7] Ibid., page 63.

[8] Pasal 1 huruf b butir iii Peraturan KPEI No. II-10.

[9] Menurut Inarno Djajadi (Direktur Utama KPEI), saat ini terdapat 89 saham aktif yang ditransaksikan melalui PME dengan jumlah Anggota Kliring sebanyak 80 pihak. Lihat: Skema pajak PME beri insentif investor, http://www.fiskal.depkeu.go.id/bapekki/klip/detailklip.asp?klipID=N556206625, diakses tanggal 11 Mei 2007.



[10] Technical Committee of IOSCO and CPSS, op.cit, page 6. Apakah mekanisme ini dibenarkan dalam sistem hukum Indonesia, mengingat kekuasaan mutlak pemegang saham dan benda bergerak lainnya? Seperti kita ketahui, dalam perjanjian pinjam meminjam, si peminjam biasanya memperoleh perlindungan yang lebih dari penerima pinjaman. Pemberi pinjaman yang biasanya memiliki hak atas titel kepemilikan memiliki kekuasaan untuk mengambil kembali atau menjual objek kepemilikannya walaupun objek tersebut sedang dipinjamkan. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hal ini, tidak akan dibahas dalam sub topik ini namun akan dibahas di sub topik berikutnya.

[11] Ibid., page 28.

[12] Mekanisme PME, http://www.kpei.co.id/pme/default.aspx?lang=Ind&page=3, diakses tanggal 11 Mei 2007.

[13] Technical Committee of IOSCO and CPSS, op.cit, page 17.

[14] Ibid., page 19.

[15] Lihat angka 3 huruf b Peraturan No. II-10.

[16] Lihat angka 3 huruf a Peraturan No. II-10.

[17] Lihat angka 6 dan 7 Peraturan No. II-10.

[18] Technical Committee of IOSCO and CPSS, op.cit, page 20-21.

[19] Ibid., page 28.

[20] Lihat angka 5 Peraturan No. II-10.

[21] Technical Committee of IOSCO and CPSS, op.cit, page 30.

[22] Mekanisme PME, loc.cit.

[23] Lihat angka 10 Peraturan No. II-10.

Tidak ada komentar: