Kamis, 11 September 2008

Menelisik Sanksi Denda atas PGN

Menelisik Sanksi Denda atas PGN
[14/3/07]

Sanksi denda yang dijatuhkan kepada PGN bukan yang pertama, namun mungkin yang tertinggi. Standar sanksi yang dijatuhkan Bapepam-LK dalam kasus-kasus itu masih tidak jelas.

Nasib sial belakangan ini merundung PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Selasa (13/3) kemarin, perusahaan ini dijatuhi hukuman denda oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) gara-gara terlambat memberitahukan informasi ke publik tentang penyelesaian proyek pipanisasi South Sumatera-West Java (SSWJ).

Atas keterlambatan itu, Bapepam-LK mewajibkan lima orang Direktur PGN untuk membayar denda masing-masing Rp1 milyar. Sementara untuk PGN sendiri hanya dikenakan denda Rp35 juta. Angka Rp 35 juta itu didapat dari formula perhitungan waktu keterlambatan informasi, denda RP. 1 juta untuk setiap hari keterlambatan selama 35 hari. Sementara perhitungan yang dikenakan kepada direksi hingga kini belum dijelaskan oleh Bapepam-LK.

Pengamat hukum pasar modal, Indra Safitri mengatakan kewenangan Bapepam-LK dalam menentukan besarnya sanksi kepada direksi biasanya ditentukan oleh penyidik di Bapepam-LK itu sendiri. Biasanya juga, kata Indra, penyidik menghitung berdasarkan kerugian yang ditimbulkan atas keterlambatan informasi itu. “Jadi, kalau mengukurnya dari nilai, itu sebenarnya justifikasinya ada di Bapepam-LK sendiri. Merekalah yang bisa menghitung dampak kerugian dari dilanggarnya prinsip keterbukaan informasi itu,” ujarnya.

Sebenarnya lanjut Indra, tata cara dalam menentukan atau memformulasikan suatu pelanggaran yang berkaitan dengan sanksi administratif oleh Bapepam-LK diatur di dalam PP Nomor 12 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas PP Nomor 45 Tahun 1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal dan juga dalam PP Nomor 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pasar Modal.

Indra menambahkan bila dibanding kasus-kasus pelanggaran keterbukaan informasi lainnya, denda terhadap PGN dan direksinya adalah yang tertinggi. Menurutnya, putusan itu sudah sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UU No 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Sebab, dalam UU tersebut Bapepam-LK diberikan kewenangan untuk memberikan sanksi, baik sanksi administratif dalam bentuk denda maupun pidana. “Secara hukum tidak ada masalah dengan putusan ini,” tegasnya.

Sebelumnya, salah satu kasus keterbukaan informasi yang juga menarik perhatian adalah kasus penerbitan sekaligus publikasi sembilan press release pada Januari sampai Februari 2000 oleh PT Lippo e-Net Tbk. Di antara press release tersebut mengandung informasi yang kurang tuntas dalam penjabarannya serta kurang didukung oleh fakta-fakta yang dapat menjelaskan informasi di dalamnya. Dalam kasus itu, Bapepam menjatuhkan sanksi administratif berupa denda kepada Lippo e-Net dan para pengurus perusahaan.

Pada 2004 giliran PT Indofarma Tbk (Indofarma) yang diganjar sanksi oleh Bapepam-LK. Berdasarkan pemeriksaan, Direksi Indofarma melakukan pelanggaran dalam penyajian data laporan keuangan tahunan 2003. Akibatnya 5 Direksi Indofarma diganjar denda Rp500 juta, alias masing-masing Rp.100 juta.

Lalu pada 2005-2006 PT Sari Husada juga pernah didenda karena terlambat melaporkan kepemilikan saham direksinya. Kelima direksi perusahaan berkode SHDA itu didenda masing-masing Rp100 ribu per hari keterlambatan. Ujungnya, direksi rata-rata Cuma harus membayar denda Rp.800 ribu perak.

Peneliti pada Centre for Finance and Securities Law (CFISEL) M.Faiz Aziz, mengatakan untuk kasus PGN ini, direksi telah melanggar larangan misleading information yang diatur dalam Pasal 93 UU Pasar Modal.

Menilik penerapan sanksi oleh Bapepam-LK, Aziz mengatakan standar yang digunakanmasih berbeda-beda. “Dalam hal ini bukan tidak mungkin Bapepam-LK memiliki perhitungan atau standar tersendiri mengenai jenis kesalahan dan kerugian serta dampak yang akan ditimbulkan,” kata Aziz.

“Namun, sayangnya Bapepam masih belum mau terbuka akan hal itu. Atau barangkali, memang Bapepam tidak punya standarnya dan hanya asal tembak mengenai besarnya penetapan sanksi denda tersebut. Tentunya ini jelas bisa merugikan pihak yang terkena denda, dan tidak ada kepastian hukum mengenai besaran denda ini,” lanjut Aziz.

PGN bisa PTUN kan Bapepam-LK

Sementara itu, Indra safitri mengatakan PGN tidak dapat melakukan pengajuan keberatan ke Bapepam-LK. Alasannya, putusan itu sudah final. “Bagaimana Bapepam-LK bisa menganulir keputusannya sendiri. Kalau putusan itu dilakukan oleh BEJ, maka pihak yang dirugikan bisa banding ke Bapepam-LK,” jelasnya.

Satu-satunya perlawanan yang bisa dilakukan oleh PGN dan direksinya menurut Indra adalah melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Saat ini kata Indra banyak putusan Bapepam-LK yang diajukan ke PTUN. “Diantaranya Bapepam-LK dikalahkan,” terangnya.

Direksi PGN sendiri keberatan dengan denda Rp 1 miliar per orang. Karenanya, PGN akan melayangkan surat permohonan keberatan segera setelah mendapat surat resmi soal denda itu dari Bapepam LK. Hal ini diungkapkan Sekretaris Perusahaan PGN Widyatmiko Bapang saat dihubungi wartawan, Rabu (14/3).

Ia menambahkan, angka Rp 1 miliar per orang itu sangat berat bagi direksi. "Kalau satu orang satu miliar, itu berat! Gaji direksi kan berapa? Seluruh gaji diserahkan saja masih kurang," tegasnya.

"Kami terima sanksi administratif itu. Cuma, melihat angkanya itu, manajemen merasa berat. Kami akan mengajukan permohonan keringanan kepada Bapepam. Secepat mungkin segera setelah menerima tertulis dari Bapepam," papar Widyatmiko.

Kedepannya, menurut Widyatmiko, PGN berharap semua masalah bisa teratasi dengan adanya keputusan ini. "Tapi kami harap dengan putusan ini semua selesai, dan kami bisa konsentrasi kerja baik yang proyek ataupun operasional bisnis," katanya.

(Sut)


URL: http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=16360&cl=Berita

Tidak ada komentar: